Acara Nyangku di Alun-alun

Acara Nyangku di Alun-alun

Sabtu, 16 April 2016

Makam Orang Belanda di Nusa Gede

Di Nusa Gede atau Nusa  Larang atau pulau Koorders pulau di tengah-tengah situ Lengkong, selain makam-makam para bangsawan panjalu, terdapat satu makam pejabat kolonial Belanda yang bernama Willem Hendrik Andreas Thilo seorang asisten residen daerah Galuh dan Kuningan. Pada nisannya tertulis sbb:

Beliau meninggal dunia pada tanggal 5 Februari 1832 dalam usia yang masih muda yaitu 31 tahun 5 bulan. Penyebab meninggalnya karena terjatuh dari kuda pada tanggal 28 November 1831.

Tetapi apakah nissan tersebut masih ada atau sudah tidak ada, perlu dicari di Nusa Larang.
Menurut penuturan alm Bapak Atong Cakradinata, ketika tentara Jepang jiarah ke Nusa Larang mereka memberi hormat ke makam Hariang Kencana, tetapi ketika dikatakan kepada mereka bahwa ada juga makan orang Belanda, tentara Jepang langsung naik pitam dan langsung memerintahkan untuk menghancurkannya. Belum jelas apakah yang dihancurkan itu nisan Mr Thilo di atas.
Jalan masuk ke komplek pemakaman Nusa Gede  saat ini (2016).



Makam Hariang Kencana Situ Lengkong Panjalu
Makam Hariang Kencana saat ini


Nusa gede situ Lengkong Panjalu
Jalan masuk ke komplek pemakaman Nusa Gede tahun 1920.

Nusa gede situ Lengkong Panjalu
Jalan masuk ke komplek pemakaman Nusa Gede tahun 1925.


Baca juga:

Jumat, 15 April 2016

Melihat Panjalu Jaman Hindia Belanda (Bagian 3)

Dalam gambar terlihat 2 orang perempuan Belanda di dermaga situ. Dermaga masih terbuat dari anyaman bambu. Mungkin sedang menunggu perahu datang. Diambil tahun 1924.








Empat orang Belanda sedang berlayar menggunakan perahu/rakit gandengan yang diberi atap. Terlihat seorang penduduk lokal sedang mengendalikan perahunya. Diambil tahun 1924.







Tiga orang Belanda sedang berlayar dengan dibantu oleh 4 orang penduduk lokal. Sepertinya diambil fotonya dari daratan. Jenis perahunya sama dengan foto yang di atas Diambil 31 Mei 1917.

Selasa, 12 April 2016

Melihat Panjalu Jaman Hindia Belanda (Bagian 2)

Situ Lengkong Panjalu sejak jaman Belanda sudah menjadi salah satu tujuan wisata di daerah Priangan selain Garut. Dalam buku GIDS VAN BANDOENG EN MIDDEN-PRIANGAN terbitan tahun 1927 situ Panjalu (Meer Van Pandjaloe) dapat diakses dengan mobil dari Bandung kurang lebih 4 jam melalui Cicalengka, Nagrek, Blubur, LImbangan, Malangbong, Ciawi dan Panjalu dengan jarak 99 Km. Maka tidak heran situ Lengkong sudah mendapat liputan yang banyak dari turis yang berkunjung ke sana. Pada jaman itu foto-foto keindahan situ Lengkong menghiasi buku, majalah dan kartu pos pada saat itu.

Tercatat orang terkenal yang telah mengunjungi situ Panjalu adalah Louis Couperus, seorang novelis Belanda yang berkunjung pada tahun 1921. Beliau melukiskan dalam tulisannya pada tahun 1923 bahwa situ Panjalu lebih tenang daripada situ Bagendit. Tentang museum Louis Couperus bisa dilihat di sini. Juga pelukis berdarah Perancis dan Indonesia Ernest Dezentje pernah berkunjung ke sini pada tahun 1919 dan mengabadikan keindahan situ Panjalu pada lukisan kanvas (lihat di bawah).

Di bawah ini beberapa foto situ Lengkong pada masa kolonial.

Gambar di samping ini adalah lukisan tentang situ Lengkong tahun 1850. Ini merupakan gambar yang paling tua yang pernah saya jumpai.










Gambar diambil dari sudut dekat pintu gerbang utama.


















Gambar di samping adalah gambar situ Lengkong pada  kartu pos berwarna tahun 1909. Kartu pos diprint berwarna dan berkualitas bagus. Gambar diambil dari sudut pintu gerbang menuju bibir situ. Di pinggir situ terlihat gubuk tempat mengambil ikan.

Gambar di samping adalah gambar situ Lengkong pada  kartu pos hitam putih. Diperkirakan lebih lama daripada kartu pos yang di atas. Gambar diambil dari sudut yagn sama dengan kartu pos di atas, tapi tidak terlihat jalan menuju bibir situ.














Kartu pos dengan gambar kakek-kakek penduduk lokal yang sedang mencari ikan pada tahun 1920. Perahu yang dipakai berbentuk kayu gelondongan yang dilubangi.








Gambar di samping adalah lukisan di atas canvas tahun 1919 dalam ukuran 43 x 63cm. Di depan tampak jalan menuju bibir situ tapi di bawah tidak terlihat saung. Dilukis oleh Ernest Dezentje tahun 1919 . Ernest Dezentjé dilahirkan di Jatinegara Jakarta tanggal 17 Agustus 1884. Ayahnya merupakan seorang warganegara Belanda keturunan Perancis yang menjadi pengusaha pabrik gula, sedangkan ibunya seorang Indonesia. Dezentjé merupakan seorang pelukis otodidak yang mulai melukis pada usia 30 tahun.

Senin, 11 April 2016

Melihat Panjalu Jaman Hindia Belanda (Bagian 1)

Dalam tulisan ini saya akan menampilkan foto-foto pemandangan dan peristiwa yang terjadi di Panjalu. Silakan bagi pembaca yang mempunyai informasi yang lebih lengkap dan tepat mengenai foto yang ditampilkan di sini bisa memberi masukan kepada kami melalui alamat email panjalumaju[at]gmail.com. [at] ganti dengan @.

Gambar di samping ini adalah peta Panjalu dan sekitarnya keluaran tahun 1924. Nama-nama desa sekitar Panjalu sama dengan nama desa/kampung yang sekarang. Di situ Lengkong masih terlihat nusa Pakel masih berbentuk pulau yang kecil, sedangkan sekarang sudah tidak terlihat sebagai pulai lagi. Jalan utama baik yang menuju Panumbangan, Cibeureum maupun ke Kawali sama dengan yang sekarang. Letak alun-alun tidak berubah sampai sekarang. Yang beda adalah di depan alun-alun (dekat Balai Desa) ada jalan yang cukup besar yang sekarang menjadi jalan sempit. Bagian yang hijau adalah daerah yang terdapat hunian/perumahan.


Gambar di samping ini adalah suasana sedang diadakan sebuah upacara pada tahun 1924 di Alun-alun. Tidak ada keterangan apakah ini upacara penyambutan pejabat atau hanya acara sekolah. Di tengah-tengah terlihat seperti seorang komandan upacara yang di kiri-kanannya ada anak-anak seragam sekolah yang sedang berbaris dengan membawa sebuah tongkat. Beberapa buah bendera merah putih biru berkibar. Kalau dilihat dari lokasinya ada di alun-alun. Komandan membelakangi rumah yang cukup besar (sepertinya sekolah, SD sekarang ) dan di belakangnya lagi telihat gunung Sawal, Di sebelah kiri tampak pohon beringin. Apakah pohon beringin ini adalah pohon beringin yang ada di tengah-tengah alun-alun sekarang? 

Gambar di samping ini sepertinya kerumunan rakyat ketika mendengarkan pejabat/gegeden pada tahun 1924. Lokasinya sama dengan gambar di atas yaitu di alun-alun, karena dari kejauhan terlihat bangunan sekolah dan pohon beringin yang ada di tengah-tengah alun-alun juga sedikit terlihat disebelah kiri. Di sebelah kanan terlihat bangunan dari anyaman bambu dan terdapat tulisan KANTOR. Tidak jelas apakah itu kantor kecamatan atau kantor desa. Terlihat seorang pejabat berdiri menghadap rakyat yang di atasnya terdapat atap atau tenda. Dari banyaknya rakyat yang membawa bendera Belanda sepertinya sedang kedatangan pejabat Belanda/Kolonial.

Foto-foto lainnya terkait kunjungan Pejabat di atas:




Beberapa foto masyarakan Panjalu sedang mengadakan pawai

Pemandangan situ Lengkong dilihat dari Pesanggrahan



Foto-foto di atas sepertinya terkait dengan kunjungan Residen Batavia G.J. ter Poorten yang berkunjung ke Panjalu tahun 1924. G.J. ter Poorten ini setelah bertugas di Batavia lalu dipindahkan ke Surabaya menggantikan Residen Surabaya secara sementara yang ditinggalkan H.J Bussemaner karena cuti selama 8 bulan untuk perjalanan ke Belanda.

Pada tgl 1 November 1930 Bussermaker aktif kembali, sementara itu G. J. ter Poorten  mendapat promosi baru sebagai Residen Priangan Timur yang berkedudukan di Tasikmalaya.

Foto-foto lain terkait Kunjungan G. J. ter Poorten

situ lengkong, panjaluGambar di samping diduga G. J. ter Poorten dengan keluarganya yang sedang menginap di Panjalu di Pesanggrahan depan situ Lengkong. Pesanggrahan ini kerap dijadikan sebagai hotel/wisma bagi tamu-tamu asing. Sepertinya bangunan ini sekarang sudah tidak ada, tapi pesanggrahan menjadi nama jalan masuk ke situ Lengkong. 

Gambar di samping diduga G. J. ter Poorten dengan keluarganya dalam perjalanan pulang setelah kunjungan ke Panjalu.































Nyangku Jaman Belanda

Barangkali foto-foto di bawah ini adalah dokumentasi upacara Nyangku yang paling tua yang saya temui. Dimuat dalam sebuah buku bahasa Belanda terbitan tahun 1938. Dalam buku tersebut diceritakatan tentang legenda Sanghyang Borosngora dan kronologis upacara Nyangku. Hanya saja di sana tidak disebutkan secara langsung tentang istilah "Nyangku". Entah sejak kapan istilah Nyangku ini digunakan. 

Memang tentang keindahahan situ Lengkong Panjalu banyak sekali turis-turis yang mendokumentasikannya, tetapi upacara Nyangku ini relatif tidak ada yang mendokumentasikan dengan baik. Barangkali karena tanggal dan harinya tertentu dan publikasi masih kurang sehingga tidak banyak yang meliput. 

Nyangku Panjalu jaman Belanda
Para pembawa pusaka sedang iring-irngan ke tempat pencucian pusaka (alun-alun)

Nyangku Panjalu jaman Belanda
Pusaka utama (pedang) sudah dibuka dan siap untuk dicuci.
Tidak jelas siapa yang memegang pedang tsb,
mungkin bapak kuwu  Nur Rohman Galib ? (orang tua Bpk Atong Cakradinata)

Pedang Sanghyang Borosngora yang disebut-sebut pemberian dari Sayyidina Ali.
Didokumentasikan tahun 1863-1864 oleh Isidore van Kinsbergen (1821-1905)

Bumi alit Panjalu  jaman Belanda
Lokasi Bumi Alit di jaman Belanda. Terlihat dikelilingi pagar dan pepohonan.
Diambil dari salah satu majalah Hindia Belanda bulan Juli 1921.

Bumi alit Panjalu  jaman Belanda
Bagian dalam ruangan Bumi alit pada jaman Hindia Belanda.
Dindingnya terbuat dari anyaman bambu (bilik).
Pusaka ditempatkan di rak yang digantung dan ditutupi dengan tirai kain.
Tampak seorang kuncen sedang duduk, yang pada waktu itu seorang perempuan.
Diambil dari salah satu majalah Hindia Belanda bulan Juli 1921.