Acara Nyangku di Alun-alun

Acara Nyangku di Alun-alun

Rabu, 21 Maret 2018

Siapakah Syekh Abdul Muhyi

makam syekh abdul muhyi pamijahan
Pintu gerbang ke Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan

Bagi orang yang tinggal di Tasikmalaya, nama Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai wali atau penyebar agama Islam di tatar Pasundan bagian selatan.

Para turis yang berwisata religi, makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan Tasikmalaya merupakan tempat favorit untuk dikunjungi selain makam Hariang Kencana yang berada di Nusa Gede Situ Lengkong Panjalu Ciamis.

Di sini penulis akan memaparkan sejarah terkait Syekh Abdul Muhyi  yang bersumber dari sebuah makalah ilmiah sehingga lebih jelas sandarannya. Karena cerita dan sejarah mengenai Syekh Abdul Muhyi  ini kerap kali dikaitkan dengan cerita-cerita yang bersifat mistis dan kebatinan.

Kalau kita tinjau sejarah Syekh Abdul Muhyi  ini erat kaitannya dengan berdirinya Sukapura (sekarang Tasikmalaya), apalagi salah seorang keturunan bupati Sukapura (Wiradadaha IV) merupakan anak asuh dari Syekh Abdul Muhyi ini.


Latar Belakang
Dari perjalanan sejarah yang panjang, Jawa Barat merupakan provinsi yang berbasis islam sangat kuat. Semua ini di pengaruhi karena hadirnya walisongo yang menyebarkan agama islam di pulau Jawa yang sangat berpengaruh. 
Selain juga yang di kenal sebagai Wali Songo di Sukapura juga ada Wali yang berpengaruh dalam penyebaran agama islam di Pulau Jawa, Khususnya di Jawa Barat. Wali tersebut yaitu Syeh Abdul Muhyi, yang sangat di kenal sampai saat ini. Beliau di kenal sebagai penyebar agama islam di Sukapura, yang kini di kenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya.

Sejarah Berdirinya Sukapura
Sebelum ibu kota Sukapura berkedudukan di Tasikmalaya, kota ini merupakan sebuah afdeeling (perkebunan) yang di perintah oleh seorang patih lurah. Waktu itu namanya Tawang atau Galunggung. Sering juga penyebutannya di satukan menjadi Tawang-Galunggung. Tawang sama dengan sawah artinya tempat yang luas terbuka, dalam bahasa Sunda berarti papalagon.
Sukakerta adalah sebuah umbul yang di perintah Umbul Wirawangsa. Pada waktu itu, umbul tersebut termasuk Kabupaten Sumedang. Sukakerta terletak di sebelah utara gunung Madang, tapi menurut topografi, seharusnya Sukakerta itu terletak di sebelah Timur Sukaraja.

Menurut buku Pangeling-ngeling 300 Taun Ngadegna Kabupaten Sukapura, bahwa Sareupeun Cibuniang berputra Entol Wiraha yang menikah dengan Nyai Punyai Agung, seorang pewaris dari Negara Sukakerta. Karena perkawinan tersebut, Entol Wiraha di angkat menjadi umbul di Sukakerta, dari perkawinan itu di anugrahi putra, Wirawangsa, yang menggantikan kedudukan menjadi umbul di Sukakerta sampai pecah pemberontakan Dipati Ukur. Pada saat Wirawangsa menjadi umbul di Sukakerta daerah Priangan di pegang oleh Dipati Ukur Wangsanata. Pada tahun 1628 Dipati Ukur mendapatkan perintah dari Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Bahurekso. Dipati Ukur membawa 9 umbul diantaranya umbul dari Sukakerta, yaitu Wirawangsa. Padawaktu itu Dipati Ukur gagal dalam penyerangan, ia bersama tentaranya mengundurkan diri ke Gunung Pongporang yang terletak di Bandung Utara dekat gunung Bukittunggul. Tindakan ini oleh Mataram dianggap sebagai pemberontakan, dan Dipati Ukur di kejar-kejar oleh Mataram.

Pemberontakan Dipati Ukur sangat membahayakan Sultan Agung di Mataram. Sebab Dipati Ukur berlindung di antara Banten dan Batavia yang tak lain merupakan musuh Mataram. Karena tindakan itu Sultan Agung memerintahkan untuk menangkap Dipati Ukur hidup ataupun mati dengan perjanjian siapapun yang bisa menangkap Dipati Ukur akan mendapatkan anugrah. Akhirnya Dipati Ukur tertangkap di selatan Jakarta yang sekarang bernama Cengkareng, Dipati Ukur diserahkan ke Mataram dan di hukum mati.

Diantara yang ikut menagkap Dipati Ukur adalah Umbul Sukakerta, Umbul Cihaurbeuti dan Umbul Sindangkasih, ketiga umbul ini tidak hanya berhasil menagkap Dipati Ukur tetapi juga menangkap 8 umbul lain yang setia kepada Dipati Ukur. Sebagai anugerahnya mereka diangkat menjadi mantri agung di daerahnya masing-masing, sebagaimana tertulis dalam Piagam Sultan Agung hing dina saptu tanggal ping sanga wulan Muharam tahun Alip, yaitu Ki Wirawangsa menjadi mantri agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, ki Astamanggala yang merupakan Umbul Cihaur Beuti menjadi mantri agung Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, Ki Somahita umbul Sindangkasih menjadi mantri agung Parakan Muncang dengan gelar Tumenggung Tanu Baya.
Piagam Sultan agung tertanggal 9 Muharam tahun Alip itu dapat di anggap sebagai permulaan didirikannya Sukapura. Pengertian Sukapura adalah suka artinya asal dan pura artinya kraton ada juga yang mengartikan suka atrinya tiang dan pura artinya kraton. Jadi, Sukapura artinya jejernya kraton, karena di tempat ini berdirinya bupati Sukapura pertama. Jumlah daerah yang berada di bawah kabupaten Sukapura ada 12 cutak, yaitu sebagai berikut :
1.      Cutak Sukakerta membawahi Pagerbumidan Cijulang
2.      Cutak Mandala membawahi Kalapagenep
3.      Cutak Cipinaha membawahi Unggasan
4.      Cutak Cigugur membawahi Parakantelu dan Maroko
5.      Cutak Parung
6.      Cutak Karang
7.      Cutak Bojongeurun
8.      Cutak Suci
9.      Cutak Panemboh
10.  Cutak Cisalak
11.  Cutak Nagara (Pameungpuk Garut)
12.  Cutak Cidamar

Kemudian Sultan Agung mengambil kembali dari tiga distrik dari umbul-umbul yang ikut memberontak bersama Dipati Ukur, yaitu Saunggantang, Taraju, dan Malangbong. Dengan demikian jumlah Sukapura menjadi 15 cutak. Tanah yang di kuasai Tumenggung Wiradadaha adalah daerah terbesar (terluas) dan terpadat penduduknya di daerah Priangan.
Mengingat sangat luasnya daerah yang di berikan Sultan Agung kepada Wiradadaha dapat di tarik kesimpulan bahwa Sultan agung sangat berterimakasih atas tertangkapnya Dipati Ukur dan bagi Sultan Agung pemberontakan Dipati Ukur ini sama membahayakannya seperti VOC. Tumenggung Wiradadaha di bebaskan dari kewajiban membayar upeti kepada Sultan Mataram. Kebebasan memegang perintah dan menarik penghasilan.

Pada masa Wiradadaha III, kemajuan agama sangat di pentingkan sekali, karena adanya anjuran dari Syeh Abdul Muhyi di Pamijahan, yang menjadi perintis agama islam di Sukapura. Pada saat Wiradadaha III meninggal maka Subamanggala di angkat menjadi bupati Sukapura dengan gelar Wiradadaha IV. Ia di kenal dengan bupati yang sangat pinandita, karena sejak kecil di asuh oleh Syeh Abdul Muhyi di Pamijahan.

Biografi Syekh Abdul Muhyi
Syekh Haji Abdul Muhyi lahir di daerah Gresik, 1071 H 1650 M, wafat di Pamijahan, Bantar Kalong, Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1115 H/1730 M. Ulama tarekat Syatariyah, penyebar agama islam di Jawa Barat bagian Selatan. Karena di pandang sebagai seorang wali, maka makamnya di Pamijahan di keramatkan orang.

Syekh Abdul Muhyi sebenarnya masih keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Kusumah, yang merupakan keturunan ratu Galuh, dan ibunya Sembah Ajeng Tangan Ziyah, beliau juga mempunyai saudari yang bernama Nyai Kodrat yang kemudian akan menjadi istri Khotib Muwahid.
Silsilah keturunan Syeh Abdul Muhyi dari Ayah dan Ibu:
Dari Ayah
1.      Ratu Galuh                                       5. Entol panengah
2.      Ratu Puhun                                       6. Sembah Lebe Wartakusumah
3.      Kuda Lanjar                                      7. Syeh Haji Abdul Muhyi
4.      Mudik Cikawung Ading

Dari Ibu
1.      Nabi Muhammas SAW                     14. Sultan Abdul fatah Raja India
2.      Sayyidina Siti Fatimah                     15. Sultan Abdul Khan Duddin
3.      Sayyidina Husain                              16.  Syeh Amir Ahmad Jalaludin
4.      Sayyidina Zainal Abidin                   17. Syeh jamaludin al-husen
5.      Sayyidina Syeh Ja’far Sidik             18. Syeh maulana Ibrahim Zainal Akbar
6.      Sayyidina Syeh Kasim Al-kamil       19. Syeh ali maulana ali murtadu
7.      Sayyidina Syeh Isa Al-Basri             20. Syeh Maulana Ishak
8.      Sayyidina Syeh Abdul Abu Naji      21. Syeh Sunan ciri Raden Paku
9.      Sayyidina syeh Ubaidilah                 22. Syeh Pangeran Laya Atam Sunan Giri
10.  Sayyidina Syeh Muhammad             23. Syeh Adi Pati Wiracandra
11.  Sayyidina Syeh Almy                       24. Kentol Sambinara
12.  Sayyidina Syekh Ali Al-Gam           25. Ny. Rd.Ajeng Tanganijah
13.  Sayyidina Syeh Muhammad             26. Syeh Hj Abdul Muhyi

Pada saat usia 19 tahun Syekh Abdul Muhyi merantau ke pulau Sumatra dengan belajar agama islam di Kuala Aceh. pada saat di Aceh Syekh Abdul Muhyi berguru kepada seorang ulama besar ahli tasauf, dan pemimpin tarekat Syatariyah, yang menjadi imam mesjid raya Aceh bernama Syekh Abdur Rauf bin Abdul Jabar bin Abdul Qadir Baghdad, yang lebih di kenal sebagai Abdur Rauf Singkel. Abdur Rauf singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh, yang di kenal dengan paham Wahdatul wujud dengan paham sunnah, ajaran itulah yang kemudian di bawa Syekh Abdul Muhyi ke Jawa. Setelah menamatkan pendidikan di Aceh saat berusia 27 tahun beliau pergi ziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jaelani di Baghdad bersama guru dan rombongannya, dan melaksanakan ibadah haji ke Makkah.

Pada saat sedang berada di Makkah Syekh Abdur Rauf mendapatkan petunjuk bahwa salah satu santrinya akan ada yang menjadi wali. Dikala ilham itu sudah terlihat maka Syekh Abdur Rauf harus segera menyuruhnya pulang dan harus mencari goa yang ada di pulau Jawa bagian Barat untuk menetap dan bermukim di sana. Goa itu sebenarnya bekas Syekh H. Abdul Qadir Jaelani sewaktu menerima ijajah ilmu agama islam dari gurunyya yaitu imam Sanusi.

Peranan Syekh Abdul Muhyi dalam penyebaran islam di Sukapura
Setelah pulang dari Makkah Syekh Abdul Muhyi di panggil oleh Syeh Adur Rauf Singkel dan di perintahkan untuk mencari goa sesuai dengan ilham yang beliau terima pada saat di Makkah. kembalilah Syeh Abdul Muhyi ke Ampel, setelah menikah ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan kearah barat bersama istri dan orangtuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685). Kemudian kembali mengembara dan sampai di daerah Pameungpeuk Garut, ia menetap di Pameungpeuk selama satu tahun (1685-1686), untuk menyebarkan agama islam di kalangan masyarakat yang pada saat itu masih menganut agama Hindu.
Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan di makamkan di kampung Dukuh di tepi kali Cikangan. Setelah ayahnya meninggal ia melanjutkan pengembaraan kedaerah Batu wangi, setelah itu ke Lebaksiuh, ia bermukim di Lebaksiuh selama empat tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya beragama Hindu. Pada saat di Lebaksiuh Syeh Abdul Muhyi mendapat gangguan dari pengannut agama lain, untuk mencari ketenangan dalam ibadah maka Syeh melakukan pengembaraan kembali dan pada saat itu ia menemukan Goa yang sesuai dengan petunjuk gurunya, lembah itu diberi nama Mujarad yang artinya tempat penenangan, dan tiidak jauh dari sana, di sebelah Timur dibangun sebuah kampung yang di berinama Safarwadi yang artinya berjalan di atas jurang. Kampung itu sekarang di sebut Pamijahan.
Syekh Abdul Muhyi sendiri merupakan pengamal dari Tarekat Syatariyah, yang diperoleh dari gurunya Syekh Abdul Rauf as-Syinkel, seorang mursyid tarekat Syatariyah. Keterangan ini dibuktikan dengan sislsilah kemursyidan guru-guru Syekh Abdul Muhyi yang diambil dari dokumen resmi kepamijahan. Garis keturunan guru-guru Syekh Abdul Muhyi antara lain:
1.      Nabi Muhammad ﷺ
14. Syekh Muhammad Asik
2.      Ali bin Abi Thalib
15. Syekh A’rif
3.      Syekh Husen
16. Syekh Abdullah Sathori
4.      Syekh Jaenal Abidin
17. Syekh Qodli Sathori
5.      Syekh Imam Muhammad Bakir
18. Syekh Hidayatullah Sarmat
6.      Syekh Jafarus Sidiq
19. Syekh Husuri
7.      Syekh abi yazid Bustomi
20. Syekh Muhammad Gaos dan putra Khotimudin
8.      Sykeh Muhammad Maghribi
21. Syekh Wajihudin al-Alawi
9.      Syekh Arobi Yazidi
22. Syekh Sibghatul Sah
10.  Syekh Qutub Mudlofar
23. Syekh Muwahib Abdullah Ahmad
11.  Syekh Rumli Turitusi
24. Syekh Ahmad bin Muhammad Madinah
12.  Syekh Hasani Harqoni
25. Syekh Abdul Rauf as-Syinkel
13.  Syekh  Maulana Nanari
26. Syekh Haji Abdul Muhyi[15]

Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai wali yang berperan mendakwahkan Islam di daerah Sukapura (Tasikmalaya). Bahkan salah satu penguasa Sukapura  yang bernama Subamanggala merupakan murid sekaligus anak angkat dari Syekh Abdul Muhyi.
Namun berselang tujuh tahun selepas pengangkatan Subamanggala menjadi Bupati Sukapura, Syekh Abdul Muhyi wafat tepatnya pada tahun 1730 M dan dimakan di Pamijahan. Peran Syekh Abdul Muhyi tidak berhenti setelah wafatnya.

Metode islamisasi Syeh Abdul Muhyi
Penyebaran agama islam dilakukan oleh Syeh Abdul Muhyi dengan cara damai dan menggunakan pendekatan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Syeh Abdul Muhyi sanga obati orang sakit dan tempat bertanya atau pemberi nasihat, bagi orang-orang yang sedang mengalami kesulitan. Oleh karena itu tidak sedikit masyarakat yang menaruh simpati dan akhirnya menyatakan untuk memeluk agama islam.

Dalam memberikan pengajaran agama islam, Syeh Abdul Muhyi melakukannya dengan pendekatan kebudayaan, seperti lagu-lagu yang menggunakan kata-kata dari Al-Qur’an. Selain itu, masyarakatpun di beri doa-doa berupa kalimat syahadat dan ayat-ayat Al-Qur’an. Doa-doa itu di maksudkan sebagai pengganti jampe-jampe yang masih di percaya kekuatannya oleh masyarakat.
Selain menggunakan cara di atas, juga dengan menggunakan metode tarekat. Metode ini hakekatnya di gunakan untuk mendidik santri agar tetap mentaati dan menjalankan ibadah sesuai dengan Syareat yang di contohkan Nabi Muhammad SAW, dan di kerjakan oleh sahabat dan juga tabi’in secara turun temurun.

Syeh Abdul Muhyi mengajar santri-santrinya di dalam gua Safar Wali, terutapa pelajaran yang menyangkut masalah yang menyangkut prinsipil. Penggunaan goa ini dimaksudkan agar para santri lebih serius, konsentrasi, dan mudah dalam menyerap palajaran, dengan tidak terganggu oleh situasi alam yang ada di luar.

Syekh Abdul Muhyi merupakan seorang seniman, sehingga pengembangan ilmu agama islam di lakukan melalui seni diantaranya dengan  cara :
ü  Mengajar membaca Al-qur’an dengan senni bacaan
ü  Mengajar doa-doa lain dengan istilah mantra atau jampi

Cara yang di lakukan, di waktu senggang, Syeh biasa membaca Al-qur’an dengan seni bacanya. Karena seni bacaannya yang indah maka penduduk di sekitar tertarik, sehingga banyak yang berdatangan ingin belajar membaca Al-qur’an.

Untuk memenuhi permintaan para pendatang Syekh tidak langsung memberi pelajaran membaca Al-qur’an, melainkan :
1.      Hanya belajar lagunya dengan cara senandung
2.      Diberi cara atau syarat mengenai : memegang, membawa, dan membaca Al-qur’an.
Cara atau syarat yang di maksud itu ialah mengenai pembacaan 2 kalimat syahadat kemudian cara-cara berwudu dan lain sebagainya, dengan maksud untuk membawa mereka masuk agama islam.
Metode dakwah bilhal yang paling khas dari Syekh Abdul Muhyi ialah mengembangkan konsep ”martabat tujuh”, melalui martabat alam tujuh inilah tatacara berdzikir, jalan spiritual dan konspe akhlak dikembangkan. Terdapat tiga sitilah yang disandarkan kepada dzikir, yaitu: dzikir ruhani (ta’ayun), dzikir amali (qashd), dzikir jasmani (ta’arudh) yang masing-masing berjumlah tujuh, yaitu: 1. Hati lawwamah, 2. Hati sawiyyah, 3. Hati salbiyyah, 4. Hati muthma’innah, 5. Hati tawajjuh, 6. Hati mujarrad, 7. Hati rabbani. Sedangkan yang dimaksud martabat alam tujuh adalah proses penampakan Allah pada alam, yaitu: 1. alam ahadiyah, belum nyata, yaitu dzat qadim, azali, abadi masih berdiri sendiri; 2. alam al-wahdah, mulai ada yang nyata pada martabat sifat qadim, azali, abadi; 3 alam al-wahidayyah, telah kuasa atas terjadinya masing-masing yang ada (mumkinat), yang mengadanya pun telah diketahui oleh ilmu Allah; 4. alam al-arwah, martabat nyawa sebelum menerima nasib yang masih merupakan cahaya suci; 5. alam al-mitsal, nyawa rahmani telah menerima bentuk; 6. alam al-ajsam, adalah ketika mengadanya jasad halus yang diistilahkan ruhiyyah; 7. alam al-insal al-kamil, yaitu Allah meniupkan nyawa yang diistilahkan roh idlafi ke dalam jasmani Adam.

Peninggalan Syekh Abdul Muhyi di Sukapura
1.      Goa Saparwadi
Kekunaan kompleks keramat Pamijahan hanya tampak pada Gua Saparwadi. Gua ini terbentuk secara alamiah sebagai hasil proses geologi biasa.  Gua tersebut memiliki dua pintu, tetapi secara tradisional, jalur yang dianggap pintu masuk terletak di sebelah tenggara (Kampung Pamijahan) dan pintu keluar di sebelah barat laut (Kampung Panyalahan). Diukur dari kedua pintu itu, panjang gua mencapai sekitar 284 m dan bagian terlebar mencapai 24,50 m. Menurut perhitungan juru pelihara, ruang dalam gua tersebut  mempunyai keluasan  6.950 m2, yang tertutup bukit terjal seluas 26.568 m2. Dari ujung ke ujung terdapat jalan masuk yang sempit. Bagian dalam gua memiliki ruangan cukup luas dan dapat menampung puluhan orang. Pada sepanjang jalan gua ini, tampak langit-langit gua dipenuhi stalaktit dan stalagmit. Sesungguhnya jalan gua ini merupakan sumber air yang seterusnya dialirkan ke bagian luar untuk masuk ke sungai Pamijahan. Jalan utama dalam gua ini sebuah jalur lurus dengan orientasi barat – timur. Di sebelah utara terdapat lorong-lorong yang secara tradisional dianggap ‘jalan mistik’ dengan berbagai tujuan.

       Tidak jauh dari pintu masuk, terdapat sebuah lorong yang dinamai pangtapaan (tempat bertapa). Tempat ini menjadi lokasi pertama dalam proses ziarah ke dalam gua. Setelah keluar dari pangtapaan, orang dapat mengunjungi ceruk kecil mengandung sumber air bawah tanah yang ditandai sebagai ‘zamzam’. Di sini pengunjung dapat mengambil air suci dalam botol-botol plastik yang nantinya sebagai bekal. Perjalanan dilanjutkan ke arah utara sampai di sebuah lorong dangkal yang disbut cikahuripan (air kehidupan).

Tidak jauh dari situ terdapat lorong besar ke arah barat. Lorong ini mula-mula memiliki dua cabang ke kiri dan kanan. Pada cabang sebelah kiri (utara) terdapat dua lorong, disebut ‘menara’ dan ‘jalan ke Mekah’. Keluar dari lorong ini, perjalanan dilanjutkan ke lorong utama pada arah utara, yang pada ujungnya terdapat ceruk dinamai ‘masjid isteri’. Pada lorong inilah terbentang dua cabang besar membentuk sayap timur dan barat, yaitu ‘jalan ke Surabaya’  dan ‘jalan ke Cirebon’.

Pada sayap barat ditemukan banyak lorong. Deretan lorong utara, biasa disebut pasantrian ada ceruk-ceruk yang penamaannya mengidentikkan diri dengan instrumen kegiatan pesantren. Lorong pertama disebut jabal kopeah, kemudian berturut-turut ke arah barat terdiri dari ‘tempat kitab’, ‘pandaringan’, ‘haseupan’, dulang, dan cowet. Sedangkan lorong paling barat adalah ‘jalan ke Banten’. Kembali ke jalur utama gua, perjalanan dilanjutkan ke arah barat. Sebelah utara terdapat ceruk yang disebut ‘cikajayaan’ dan kemudian ceruk lainnya disebut ‘tihang masjid Madinah’, sebelum berakhir di pintu ke luar di Kampung Panyalahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar