Suasana alun-alun Panjalu saat Nyangku |
Baca:
Nyangku 2007. .
Dede Yusuf ikut dalam iring-iringan pembawa pusaka dalam acara Nyangku tahun 2007 |
Situ Panjalu jaman Belanda |
Nusa Gede di Tengah Situ Panjalu Cagar Alam Sekaligus Cagar Budaya
Nusa Gede, demikian warga adat Panjalu atau mereka yang memiliki darah keturunan Panjalu, kerap menyebut pulau kecil seluas 16 hektaree di tengah Situ Lengkong atau Situ Panjalu. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu atau Nusalarang. Berada pada ketinggian sekira 700 meter di atas permukaan laut, masuk dalam wilayah Desa dan Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat.
OBJEK wisata Situ Panjalu Kab. Ciamis dengan Pulau Nusa tempat makam bersejarah. Di objek ini bisa rekreasi keliling perahu.*UNDANG SUDRAJAT/"PR" Pada masa penjajahan Belanda, perhatian sangat besar ditujukan terhadap keberadaan dan kelestarian Nusa Gede. Sebagai bentuk penghargaan kepada Dr. Koorders, ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863, Nusa Gede berubah nama menjadi Pulau Koorders. Bahkan, pada 21 Februari 1919 area Situ Lengkong dengan Nusa Gede atau Nusa Panjalu atau Nusalarang-nya dinyatakan sebagai kawasan cagar alam yang benar-benar dijaga kelestarian alam serta budaya yang ada di dalamnya. Koorders pada zamannya, dikenal sebagai seseorang yang menaruh perhatian besar pada botani. Bersama perkumpulannya yang diketuai, dirinya memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Dibantu TH Valenton seorang ahli botani, pekerjaan mengumpulkan herbarium dan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika. Karen Koorders dan Valenton serta rekannya, akhirnya berhasil memberikan sumbangan yang tidak kecil pada dunia ilmu pengetahuan mengenai tumbuhan. Kemudian hasil penelitian tersebut dituangkan dalam bukunya, "Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java", sebuah buku tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa. Sebagai kawasan cagar alam yang berada dalam pengawasan KPH Ciamis, Nusalarang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Wisatawan yang berkunjung dapat menikmati berbagai jenis flora. Saat memasuki kawasan, pengunjung sudah disambut pepohonan rotan (Calamus Sp), tepus (Zingiberaceae), dan langkap (Arenga). Semakin masuk ke dalam, pengunjung akan melihat pepohonan besar kileho (Sauraula Sp), kihaji (Dysoxylum) dan kikondang (Ficus variegata). Selain jenis flora, di kawasan Nusa Gede juga dapat ditemui berbagai jenis fauna, sebut saja antara lain tupai (Calosciurus nigrittatus), burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus). Sementara Elang jambul putih hanya sesekali mendatangi Nusa Gede. Belakangan menurut keterangan Wawan, salah seorang petugas Perhutani KPH Ciamis, populasi kalong di daerah itu bertambah dengan berdatangannya kawanan kalong dari Astana Gede Kawali. Astana Gede yang terletak di Kecamatan Kawali, enam kilometer arah utara Kota Ciamis, itu selama ini dianggap sebagai pusat Kerajaan Galuh. Kawanan kalong yang bersarang di situs tersebut dikabarkan sudah lebih dulu hijrah ke Situ Lengkong, jauh sebelum terjadi bencana angin ribut melanda situs Astana Gede Kawali. Situs Astana Gede Kawali dipercaya mempunyai hubungan sejarah dengan situs Panjalu di Nusalarang. Namun, setiap wisatawan yang berkunjung ke Situ Lengkong dan Nusa Gede, kebanyakan tujuan utamanya bukan untuk menikmati keindahan alam atau menyaksikan flora dan faunanya, tetapi umumnya wisatawan yang berkunjung, datang untuk mengunjungi pulau yang terdapat makam leluhur masyarakat Panjalu yang menjadi perintis penyebaran agama Islam di Jabar. Nusa Gede atau Nusa Larangan merupakan pemakaman raja-raja Panjalu dan keturunannya sampai Bupati Panjalu terakhir, Dalem Tjakranegara III. Berdasarkan gambar dan buku klasiran desa tahun 1937, luas Situ Lengkong mencapai 69,98 hektare dan Nusa Gede hanya 9,25 hektare. Pemilik keturunan terakhir Situ Lengkong, Demang Prajadinata, dikabarkan meninggal di Mekah. Namun, sebelum berangkat pada tahun 1908, beramanat agar Situ Lengkong dijadikan tanah hak kulah. Air dan ikannya dizariahkan, sedangkan pemeliharaannya diserahkan ke pemerintah desa. Pada tahun 1929 pernah terjadi gugatan, tetapi dapat diselesaikan. Dengan surat keputusan gubernur jenderal saat itu, Situ Lengkong akhirnya dinyatakan tidak termasuk kekayaan pemerintah. Saat itu, kedalaman air Situ Lengkong di daerah tertentu mencapai lebih dari 10 meter. Jika dilihat dari jauh, warnanya membiru. Namun, kini kondisinya benar-benar sudah berubah. Luas Nusa Gede menjadi 16 hektare sementar luas Situ Lengkong semakin menyempit. Hal ini diakibat kerusakan daerah hulu, kedalaman air situ tersebut kini antara 7 hingga 4 meter. Sedimentasi yang terus berlangsung akibat penebangan pohon-pohon di daerah hulu Cipanjalu, dikhawatirkan akan mengakibatkan Situ Lengkong berubah menjadi daratan. Dampak lainnya, menurut Kabid Kebudayaan Diparda Kab. Ciamis, Drs. Owoy Ruswanda, kegiatan wisata yang tidak terkelola dengan baik juga menimbulkan kemerosotan mutu air Situ Lengkong. Selain luas situ yang makin sempit, tingkat pencemaran airnya makin tinggi. Airnya tidak bening lagi karena di perairan tersebut beroperasi sekira 20 motor tempel yang menggunakan bahan bakar solar. Karena kegiatan wisata itu tumbuh secara alami tanpa rencana dan sentuhan manajemen terpadu berbagai aspek, berakibat kurang memberi manfaat ekonomi secara langsung. Karena itu, dalam Pelatihan Juru Pelihara dan Kuncen Se-Jawa Barat yang baru pertama kali diadakan Disbudpar Jabar akhir bulan November lalu, Kadisbudpar Jabar Drs. H.I. Budhyana, M.Si., menawarkan beberapa skenario untuk menata kawasan tersebut. Situ Lengkong dan Nusa Gede merupakan objek wisata budaya dan wisata alami. Para pengunjungnya berasal dari berbagai daerah. Berdasarkan angket yang secara rutin disebar, pada tahun 2003 kunjungan yang berasal dari Jabar mencapai 63 persen, Jateng 13 persen, dan Jatim sebanyak 23 persen, serta dari daerah lainnya satu persen. Di kalangan warga adat Panjalu atau keturunanannya, Situ Lengkong berdasarkan kisah-kisah lisan yang beredar selama ini tidaklah dengan sendirinya terbentuk. Situ tersebut terbentuk sebagai bagian dari proses pengislaman yang dirintis Prabu Borosngora, anak kedua dari Prabu Sanghyang Tjakradewa. Berdasarkan Babad Panjalu, Prabu Borosngora disebut sebagai buyut Sanghyang Ratu Permanadewi, Ratu Kerajaan Soko Galuh yang membawa ajaran karahayuan (kemakmuran). Karena dipimpin seorang wanita, kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Panjalu. Dalam bahasa Sunda, berarti laki-laki. Kerajaan Panjalu pernah kuat dan besar. Namun sayang, dalam perjalanan selanjutnya, kerajaan tersebut pernah masuk menjadi bagian Kesultanan Cirebon sampai akhirnya menjadi kabupaten. Wilayahnya kemudian digabung dengan Kabupaten Imbanagara dan Kawali sehingga menjadi Kabupaten Ciamis sekarang. Selain merupakan objek wisata, sebagai bekas kerajaan, Panjalu sebenarnya masih memiliki daya tarik lainnya berupa upacara nyangku. Upacara itu setiap tahun diselenggarakan pada hari Senin atau Kamis terakhir bulan Maulud. Nyangku yang berasal dari bahasa Arab yanko artinya sama dengan membersihkan. Dalam upacara tersebut, pedang hadiah dari Sayidina Ali dan barang pusaka lainnya seperti cis, keris, dan tombak dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di Bumi Alit untuk dibersihkan. Prosesi upacaranya dilanjutkan dengan membawa barang-barang pusaka tersebut ke Nusalarang, lalu kembali ke balai desa untuk dibersihkan. Menjelang tengah hari, barang-barang pusaka itu disimpan kembali ke tempat asalnya. Bagi masyarakat Panjalu, nyangku memiliki makna yang lebih luas. Dan sesuai dengan ajaran leluhur mereka, setiap langkah dalam upacara tersebut memiliki makna tersendiri yang bertujuan meningkatkan kebahagiaan lahir-batin keturunan Panjalu. Kepada anak-cucunya, Raja Panjalu mewariskan papagon atau ajaran yang antara lain berbunyi; "Pakena gawe rahayu dan pakena kreta bener" dan "mangan karna halal, pake karna suci, ucap lampah sabenere,". "Hingga kini ajaran tersebut selalu dipegang teguh oleh mereka yang merasa sebagai keturunan Panjalu meskipun sudah menetap jauh di luar Panjalu," ujar Bah Atong, yang merupakan keturunan ke-14 Prabu Borosngora.(Retno HY/PR)***Baca:Situ Lengkong jaman belanda.Nusa Gede di tengah situ Panjalu.Kelestarian situ Koorders Panjalu.
Tempat-tempat ziarah di Panjalu.
Upacara Nyangku.