Nyangku 2011

Kamis, 01 Januari 2015

SEJARAH KERAJAAN PANJALU

SEJARAH KERAJAAN PANJALU
oleh Basyar Isya
Sejarah Kerajaan Panjalu:
Gus Dur Angkat Pamor Sejarah yang Terpendam
KEDATANGAN K.H. Abdurahaman Wahid alias Gus Dur, pada Juli 2000 silam ke Situ Panjalu, telah memberikan berkah untuk Panjalu. Beliau yang saat itu menjabat Presiden RI, telah mengangkat pamor sejarah Panjalu. Gus Dur berkunjung ke sana karena menurutnya Raja Panjalu yang bernama Prabu Sanghyang Borosngora atau Sanghyang Jampang Manggung, termasuk salah satu raja yang pertama menyebarkan agama Islam di Jawa atau Indonesia.
Implikasi dari ucapan Gus Dur tersebut luar biasa. Situ Panjalu yang biasanya hanya dikunjungi warga Ciamis dan Tasikmalaya, tiba-tiba banyak dikunjungi warga dari daerah Jateng, Jatim, dan Madura, terutama dari kalangan warga NU. "Kedatangan mereka terutama untuk wisata ziarah. Setiap harinya minimal satu bus," kata Sekretaris Yayasan Borosngora, Ikin Susanto.
Bukan hanya itu saja. Jalan menuju ke Kecamatan Panjalu pun diaspal hotmix, baik jalan dari arah timur Kawali, arah utara Cikijing, maupun dari arah Tasikmalaya. "Kedatangan Gus Dur telah memberikan manfaat sangat besar bagi Panjalu," tambah Kiai Acep Effendi, tokoh ulama setempat.
Ikin Susanto termasuk salah seorang keturunan keluarga kerajaan Panjalu, sedangkan keturunan dari Raja Prabu Sanghyang Borosngora yang terakhir dan masih hidup adalah H. Atong Tjakradinata. Dari Ikin dan Atong inilah sekilas didapatkan cerita tentang kerajaan Panjalu tempo doeloe. Ditemui secara terpisah, dua sosok ini secara lisan menceritakan nama-nama raja Panjalu. Baca: Silsilah Keturunan Panjalu.
Sejarah
Kerajaan Panjalu terbentuk dari gabungan dua kerajaan, yakni Gunung Bitung (Soko Galuh) dan Karangtenan Gunung Sawal. Kerajaan Gunung Bitung, awalnya dipimpin Sanghyang Tunggal Ratu Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Kerajaan tersebut kemudian diwariskan kepada Batara Babar Buana, lalu Ratu Galuring Sajagat, Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa.
Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa memiliki tiga anak kembar, yaitu Sanghyang Bleg Tambleg Rajagulingan, Sanghyang Pamonggang Sangrumanghyang dan Sanghyang Ratu Permana Dewi. Ketiga anak raja tersebut memiliki karakter berbeda. Sanghyang Ratu Permana Dewi, misalnya, memiliki karakter lembut dan mengembangkan kerahayuan/kedamaian sewaktu memimpin.
Syanghyang Ratu Permana Dewi menikah dengan Raja Gumilang. Ia keturunan dari Kerajaan Karangtenan Gunung Sawal. Raja pertamanya Prabu Tisna Jati, lalu ke Batara Layah, Karimun Putih, dan Marangga Sakti. Raja Marangga Sakti inilah ayahanda dari Rangga Gumilang.
Karena rakyat sangat mencintai Sanghyang Ratu Permana Dewi, yang memimpin kerajaan bernama Soka Galuh, maka rakyatnya memberi gelar tambahan, yaitu Soka Galuh Panjalu. Arti Panjalu ini, kata Atong Tjakradinata, adalah wanita. Kata itu berasal dari "jalu" bermakna laki-laki, sedangkan tambahan "pan" itu berarti wanita. Ikin menambahkan, kata “pan” bisa berarti papan untuk laki-laki. Jadi panjalu mengandung arti istri.
Gelar Panjalu untuk Sanghyang Ratu Permana Dewi, yang dimasukkan dalam nama kerajaannya, karena kecintaan rakyatnya atas kepemimpinan sang ratu. Selama kepemimpinannya sang ratu telah mewariskan sejumlah falsafah hidup yang dipegang warga Panjalu hingga sekarang.
Di antaranya, “Mangan Karena Halal, Pake Karena Suci, Ucap Lampah Sabenere”. Menurut Atong maupun Ikin, falsafah itu memiliki arti sangat dalam untuk kehidupan orang Panjalu. Mereka (warga Panjalu) harus memakan barang yang halal. Bahkan, kata Atong, arti “makan” di sini sangat luas. Tidak hanya semata memasukkan barang yang padat ke mulut, tetapi juga semua yang bisa ditangkap dan dirasakan pancaindera, baik itu mata, tangan, maupun indera yang lainnya. Mata, misalnya, jangan melihat yang tidak pantas dilihat.
Falsafah tersebut sebenarnya untuk mengingatkan warga Panjalu. Semua yang dipakai dan dimakan harus merupakan hasil jerih payah yang baik atau hasil bekerja secara benar. Semua tindakan dan ucapan mesti mengacu kepada kebenaran. "Jika falasah tersebut terus dijaga, maka warga Panjalu di mana pun berada, pasti selamat," tegas Atong.
Keturunan
Dari pernikahan Rangga Gumilang dengan Sanghyang Ratu Permana Dewi itu, lahirlah Prabu Sanghyang Lembu Sampulur Panjalu Luhur I. Kerajaan tersebut kemudian diturunkan lagi kepada anaknya yang bernama Prabu Sanghyang Cakradewa. Cakradewa dianggap salah seorang raja yang mahasakti. Akan tetapi, yang menonjol, ia kabarnya termasuk yang ragu dengan keberadaan dewa, sehingga arti "cakra" pada namanya bermakna menolak dewa. Ajaran yang dikembangkannya, yaitu Sunda Wiwitan.
Raja ini punya enam anak yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II, Prabu Sanghyang Borosngora, Sanghyang Panji Barani, Mamprang Kancana Artas Wayang, Ratu Punut Agung, dan terakhir Angga Runting. Putri kedua terakhir ini, kabarnya menikah dengan Prabu Siliwangi.
Raja Cakradewa karena tidak percaya atas keberadaan dewa, memerintahkan putranya Prabu Borosngora untuk mencari ilmu yang bisa menjawab keraguan yang menyelimuti dirinya. Pada awalnya, Prabu Borosngora mencari ilmu bela diri. Namun demikian, ilmu yang telah dikuasainya itu ternyata bukan yang diharapkan orangtuanya. Akhirnya, Borosngora kembali keluar dari kerajaan, tetapi kali ini Raja Cakradewa memberi syarat. Borosngora harus membawa gayung untuk membawa air saat pulang. Hanya saja gayung tersebut harus dilubangi, sehingga tidak memungkinkan Borosngora berhasil membawa air.
Meski perintah atau syarat tersebut tidak logis, tetapi karena titah sang raja, akhirnya Prabu Borosngora berangkat juga untuk mencari ilmu. Di perjalanan, di sebuah padang pasir, ia kabarnya bertemu dengan seseorang. Orang itu mengaku bernama Sayidina Ali. Dalam pertemuan tersebut, Prabu Borosngora menyampaikan keinginannya untuk mencari guru yang punya ilmu tinggi.
Mendengar penuturan tersebut, Borosngora pun kemudian diajak berjalan-jalan. Di sebuah tempat, orang tersebut sengaja menancapkan tongkatnya dan meminta Borosngora untuk mencabutnya. Borosngora awalnya menganggap keinginan orang yang baru dikenalnya itu sebagai hal yang mudah. Ia mungkin berpikir, apa sulitnya mencabut sebatang tongkat yang ditancapkan tidak begitu dalam. Akan tetapi, kenyataannya di luar dugaan. Meski sudah berusaha sekuat tenaga, bahkan mencucurkan keringat, tongkat tersebut jangankan berhasil dicabut, bergoyang pun tidak. Borosngora akhirnya menyerah.
Orang yang mengaku salah satu sahabat Nabi Saw itu lalu mendekati Borosngora. Sambil membaca “Basmallah”, hanya dengan satu tangan, ia dengan mudah mencabut tongkatnya. Melihat pemandangan di luar dugaannya, Borosngora pun terheran-heran. Singkat cerita, akhirnya Borosngora bahkan memutuskan diri untuk berguru.
Setelah bertahun-tahun berguru, akhirnya Prabu Borosngora berniat untuk pulang ke Panjalu. Sebelum pulang, dia diberi ilmu untuk memenuhi permintaan ayahnya, Raja Cakradewa, sehingga ketika tiba di Kerajaan Panjalu, ia berhasil membawa air dengan gayung sekalipun berlubang.
Melihat kedigjayaan anaknya, Raja Cakradewa memerintahkan anaknya agar membendung daerah Legok Jambu. Adapun air yang berada di dalam gayung harus disiramkan di daerah itu. Ajaib, setelah semua dilakukan, Legok Jambu pun berubah menjadi situ, yang kemudian diberi nama Situ Panjalu.
Prabu Borosngora punya anak bernama Prabu Hariang Kancana. Makamnya berada di tengah situ atau lebih dikenal dengan Nusa Gede. Keturunan lainnya dari Prabu Hariang Kancana adalah Prabu Hariang Kuluk Kunang Teko, Prabu Hariang Kadali Kancana, Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya, lalu turun lagi ke Prabu Hariang Kunang Natabaya. Makam-makam raja ini sekarang ditemukan di beberapa tempat di daerah Panjalu.
Kerajan Bubar
Kerajaan Panjalu bubar sekira tahun 1250, lalu bergabung masuk ke wilayah Keraton Cirebonan dan jabatan raja berganti menjadi Bupati. Keturunan dari kerajan ini adalah Bupati Sembah Dalem Arta Sacanata, Dalem Wiradipa. Diteruskan lagi oleh Sembah Dalem Cakranagara I, Sembah Dalem Cakranagara II, dan Sembah Dalem Cakranagara III yang juga merupakan bupati terakhir, yaitu tahun 1819. Bupati terakhir ini juga dimakamkan di tengah situ.
Keturunan bupati terakhir, yaitu Demang Prajadinata dikenal sebagai pemilik Situ Lengkong. Dari Demang, keturunan berikutnya adalah R.H. Muh Nur Tjakrapraja, lalu R.H. Nur Rohman Galib Tjakradinata, sampai ke keturunan yang sekarang, yaitu H. Atong Tjakradinata.
Untuk mengenang kerajaan Panjalu, biasanya ada satu tradisi yang bernama Nyangku. Tradisi tersebut yaitu membersihkan pedang dan senjata lainnya. Pedang yang dibersihkan itu kabarnya pernah digunakan oleh Prabu Borosngora. Sekarang pedang dan senjata itu, disimpan di bumi alit yang bersebelahan dengan kediaman Atong.*** (Diposting oleh Tata. Editing oleh Basyar Isya).
Baca:
Bumi Alit Panjalu.
Upacara Nyangku.
Silsilah Keturunan Panjalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar