Nyangku 2011

Kamis, 01 Januari 2015

Nusa Gede di Tengah Situ Panjalu

Situ Panjalu jaman Belanda
Nusa Gede di Tengah Situ Panjalu
Cagar Alam Sekaligus Cagar Budaya
Nusa Gede, demikian warga adat Panjalu atau mereka yang memiliki darah
keturunan Panjalu, kerap menyebut pulau kecil seluas 16 hektaree di
tengah Situ Lengkong atau Situ Panjalu. Namun, ada juga yang
menyebutnya sebagai Nusa Panjalu atau Nusalarang. Berada pada
ketinggian sekira 700 meter di atas permukaan laut, masuk dalam
wilayah Desa dan Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat.
OBJEK wisata Situ Panjalu Kab. Ciamis dengan Pulau Nusa tempat makam
bersejarah. Di objek ini bisa rekreasi keliling perahu.*UNDANG
SUDRAJAT/"PR"

Pada masa penjajahan Belanda, perhatian sangat besar ditujukan
terhadap keberadaan dan kelestarian Nusa Gede. Sebagai bentuk
penghargaan kepada Dr. Koorders, ketua pertama Nederlandsch Indische
Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan
alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863, Nusa Gede berubah nama
menjadi Pulau Koorders.

Bahkan, pada 21 Februari 1919 area Situ Lengkong dengan Nusa Gede atau
Nusa Panjalu atau Nusalarang-nya dinyatakan sebagai kawasan cagar alam
yang benar-benar dijaga kelestarian alam serta budaya yang ada di
dalamnya.

Koorders pada zamannya, dikenal sebagai seseorang yang menaruh
perhatian besar pada botani. Bersama perkumpulannya yang diketuai,
dirinya memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau
Jawa. Dibantu TH Valenton seorang ahli botani, pekerjaan mengumpulkan
herbarium dan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.

Karen Koorders dan Valenton serta rekannya, akhirnya berhasil
memberikan sumbangan yang tidak kecil pada dunia ilmu pengetahuan
mengenai tumbuhan. Kemudian hasil penelitian tersebut dituangkan dalam
bukunya, "Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java", sebuah
buku tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.

Sebagai kawasan cagar alam yang berada dalam pengawasan KPH Ciamis,
Nusalarang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan
tumbuh secara alami. Wisatawan yang berkunjung dapat menikmati
berbagai jenis flora.

Saat memasuki kawasan, pengunjung sudah disambut pepohonan rotan
(Calamus Sp), tepus (Zingiberaceae), dan langkap (Arenga). Semakin
masuk ke dalam, pengunjung akan melihat pepohonan besar kileho
(Sauraula Sp), kihaji (Dysoxylum) dan kikondang (Ficus variegata).

Selain jenis flora, di kawasan Nusa Gede juga dapat ditemui berbagai
jenis fauna, sebut saja antara lain tupai (Calosciurus nigrittatus),
burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus). Sementara
Elang jambul putih hanya sesekali mendatangi Nusa Gede.

Belakangan menurut keterangan Wawan, salah seorang petugas Perhutani
KPH Ciamis, populasi kalong di daerah itu bertambah dengan
berdatangannya kawanan kalong dari Astana Gede Kawali.

Astana Gede yang terletak di Kecamatan Kawali, enam kilometer arah
utara Kota Ciamis, itu selama ini dianggap sebagai pusat Kerajaan Galuh.

Kawanan kalong yang bersarang di situs tersebut dikabarkan sudah lebih
dulu hijrah ke Situ Lengkong, jauh sebelum terjadi bencana angin ribut
melanda situs Astana Gede Kawali. Situs Astana Gede Kawali dipercaya
mempunyai hubungan sejarah dengan situs Panjalu di Nusalarang.

Namun, setiap wisatawan yang berkunjung ke Situ Lengkong dan Nusa
Gede, kebanyakan tujuan utamanya bukan untuk menikmati keindahan alam
atau menyaksikan flora dan faunanya, tetapi umumnya wisatawan yang
berkunjung, datang untuk mengunjungi pulau yang terdapat makam leluhur
masyarakat Panjalu yang menjadi perintis penyebaran agama Islam di Jabar.

Nusa Gede atau Nusa Larangan merupakan pemakaman raja-raja Panjalu dan
keturunannya sampai Bupati Panjalu terakhir, Dalem Tjakranegara III.
Berdasarkan gambar dan buku klasiran desa tahun 1937, luas Situ
Lengkong mencapai 69,98 hektare dan Nusa Gede hanya 9,25 hektare.

Pemilik keturunan terakhir Situ Lengkong, Demang Prajadinata,
dikabarkan meninggal di Mekah. Namun, sebelum berangkat pada tahun
1908, beramanat agar Situ Lengkong dijadikan tanah hak kulah. Air dan
ikannya dizariahkan, sedangkan pemeliharaannya diserahkan ke
pemerintah desa.

Pada tahun 1929 pernah terjadi gugatan, tetapi dapat diselesaikan.
Dengan surat keputusan gubernur jenderal saat itu, Situ Lengkong
akhirnya dinyatakan tidak termasuk kekayaan pemerintah. Saat itu,
kedalaman air Situ Lengkong di daerah tertentu mencapai lebih dari 10
meter. Jika dilihat dari jauh, warnanya membiru.

Namun, kini kondisinya benar-benar sudah berubah. Luas Nusa Gede
menjadi 16 hektare sementar luas Situ Lengkong semakin menyempit. Hal
ini diakibat kerusakan daerah hulu, kedalaman air situ tersebut kini
antara 7 hingga 4 meter. Sedimentasi yang terus berlangsung akibat
penebangan pohon-pohon di daerah hulu Cipanjalu, dikhawatirkan akan
mengakibatkan Situ Lengkong berubah menjadi daratan.

Dampak lainnya, menurut Kabid Kebudayaan Diparda Kab. Ciamis, Drs.
Owoy Ruswanda, kegiatan wisata yang tidak terkelola dengan baik juga
menimbulkan kemerosotan mutu air Situ Lengkong. Selain luas situ yang
makin sempit, tingkat pencemaran airnya makin tinggi. Airnya tidak
bening lagi karena di perairan tersebut beroperasi sekira 20 motor
tempel yang menggunakan bahan bakar solar.

Karena kegiatan wisata itu tumbuh secara alami tanpa rencana dan
sentuhan manajemen terpadu berbagai aspek, berakibat kurang memberi
manfaat ekonomi secara langsung. Karena itu, dalam Pelatihan Juru
Pelihara dan Kuncen Se-Jawa Barat yang baru pertama kali diadakan
Disbudpar Jabar akhir bulan November lalu, Kadisbudpar Jabar Drs. H.I.
Budhyana, M.Si., menawarkan beberapa skenario untuk menata kawasan
tersebut.

Situ Lengkong dan Nusa Gede merupakan objek wisata budaya dan wisata
alami. Para pengunjungnya berasal dari berbagai daerah. Berdasarkan
angket yang secara rutin disebar, pada tahun 2003 kunjungan yang
berasal dari Jabar mencapai 63 persen, Jateng 13 persen, dan Jatim
sebanyak 23 persen, serta dari daerah lainnya satu persen.

Di kalangan warga adat Panjalu atau keturunanannya, Situ Lengkong
berdasarkan kisah-kisah lisan yang beredar selama ini tidaklah dengan
sendirinya terbentuk. Situ tersebut terbentuk sebagai bagian dari
proses pengislaman yang dirintis Prabu Borosngora, anak kedua dari
Prabu Sanghyang Tjakradewa.

Berdasarkan Babad Panjalu, Prabu Borosngora disebut sebagai buyut
Sanghyang Ratu Permanadewi, Ratu Kerajaan Soko Galuh yang membawa
ajaran karahayuan (kemakmuran). Karena dipimpin seorang wanita,
kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Panjalu. Dalam bahasa Sunda,
berarti laki-laki.

Kerajaan Panjalu pernah kuat dan besar. Namun sayang, dalam perjalanan
selanjutnya, kerajaan tersebut pernah masuk menjadi bagian Kesultanan
Cirebon sampai akhirnya menjadi kabupaten. Wilayahnya kemudian
digabung dengan Kabupaten Imbanagara dan Kawali sehingga menjadi
Kabupaten Ciamis sekarang.

Selain merupakan objek wisata, sebagai bekas kerajaan, Panjalu
sebenarnya masih memiliki daya tarik lainnya berupa upacara nyangku.
Upacara itu setiap tahun diselenggarakan pada hari Senin atau Kamis
terakhir bulan Maulud.

Nyangku yang berasal dari bahasa Arab yanko artinya sama dengan
membersihkan. Dalam upacara tersebut, pedang hadiah dari Sayidina Ali
dan barang pusaka lainnya seperti cis, keris, dan tombak dikeluarkan
dari tempat penyimpanannya di Bumi Alit untuk dibersihkan.

Prosesi upacaranya dilanjutkan dengan membawa barang-barang pusaka
tersebut ke Nusalarang, lalu kembali ke balai desa untuk dibersihkan.
Menjelang tengah hari, barang-barang pusaka itu disimpan kembali ke
tempat asalnya.

Bagi masyarakat Panjalu, nyangku memiliki makna yang lebih luas. Dan
sesuai dengan ajaran leluhur mereka, setiap langkah dalam upacara
tersebut memiliki makna tersendiri yang bertujuan meningkatkan
kebahagiaan lahir-batin keturunan Panjalu.

Kepada anak-cucunya, Raja Panjalu mewariskan papagon atau ajaran yang
antara lain berbunyi; "Pakena gawe rahayu dan pakena kreta bener" dan
"mangan karna halal, pake karna suci, ucap lampah sabenere,". "Hingga
kini ajaran tersebut selalu dipegang teguh oleh mereka yang merasa
sebagai keturunan Panjalu meskipun sudah menetap jauh di luar
Panjalu," ujar Bah Atong, yang merupakan keturunan ke-14 Prabu
Borosngora.(Retno HY/PR)***
Baca:
Situ Lengkong jaman belanda.
Nusa Gede di tengah situ Panjalu. 
Kelestarian situ Koorders Panjalu.
Tempat-tempat ziarah di Panjalu.
Upacara Nyangku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar