Prabu Cakradewa dikaruniai enam orang anak: tiga orang
putera dan tiga orang puteri, yaitu:
1.Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
2.Prabu Sahyang Borosngora
3.Sanghyang Panji Barani /Kiyai Santang
4.Ratu Mamprang Kancana Artaswayang
5.Ratu Pundut Agung
6.Ratu Anggarunting
Diantara putra-putrinya itu Prabu Borosngora dipandang
memiliki bakat dan keperibadian yang layak memegang tahta kerajaan. Disadari
bahwa ilmu dan pengalaman
putranya itu belum matang untuk memikul beban dan tanggung
jawabnya sebagi raja, karena itu beliau mengharapkan calon pewaris/penerima
tahta ini dapat membina
diri. Memiliki ilmu yang berguna bagi anak cucu generasi
mendatang, yakni ilmu hakiki (sejati) yang dapat membawa keselamatan dan
kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat.
Semula Prabu Borosngora diberi tugas ayahnya sebagi Senopati
kerajaan yang bertanggung jawab atas keamanaan, ketertiban dan keutuhan di
wilayah kerajaan.
Tugas tersebut dijalankan Prabu Borosngora dengan baik dan
mendapat sanjungan dari berbagi pihak terutama dari kalangan keraton.Dalam pada
itu Prabu Sanghyang Cakradewa terdorong usia lanjut serta keinginan bertapa
meninggalkan segala kehidupan duniawi, bermaksud turun dari tahta kerajaan.
Beliau memanggil Prabu
Borosngora serta kemudian memerintahkan untuk segera
berangkat mencari ilmu membina diri sebagai syarat bekal tanggung jawabnya
sebagi raja. Atas petunjuk dan restu dari ayahnya segera Prabu Borosngoro
berkemas pergi meninggalkan keraton berkelana mendatangi berbagi perguruan di
tatar pulau Jawa.
Dalam menjalankannya ini beliau teringat akan tugasnya saat
ini sebagi senopati kerajaan, beliau berpandangan bahwa untuk keperluan
melindungi rakyat dan negara
dari berbagi rupa ancaman musuh, harus memiliki ilmu-ilmu
kesaktian yang unggul yang disegani lawan. Dengan dasar pandangan itu ia
kemudian mandatangi
perguruan-perguruan terkemuka, pendeta-pendeta linuhung, dan
resi-resi termasyhur . Selanjutnya beliau membina diri dengan mengkombinasikan
ilmu-ilmu tersebut
dengan pengembangan potensi dirinya. Hasil kreasi mandiri
hingga menyatu sebagai kekuatan tunggal dirinya.
Kemampuan itu ia uji sendiri dengan menjajal siapapun yang
dianggap orang paling sakti baik itu kesaktria, pendekar ataupun para pendeta
dan para resi di seantero
Tatar Pulau Jawa.Setelah tak seorangpun para pendekar mampu
menghalangkan barulah ia merasa puas dan bermaksud pulang ke Negeri
Panjalu.Karena diyakini bahwa apa yang diharapkan ayahnya telah dapat ia
penuhi. Kedatangan Prabu Boronsngora disambut gembira ayahnya (Prabu
Cakradewa), keluarga dan kerabat keraton dan termaksud para
kepentingan-kepentingan ksatria kerajaan.
Sebagai ugkapan kegembiraan dalam acara tahunan kerajaan
digelar pesta dan menampilkan berbagai atraksi antara lain : Atraksi “Baksa”
diselingi demonstrasi latih tanding keterampilan beladiri para ksatria. Pada
acara ini Prabu Borosnongora diberi kesempatan pertama bersama kakaknya Prabu
Lembu Sampulur II, maju ke gelanggang latih tanding. Dengan disaksikan para
keluarga, kerabat keraton dan tamu undangan yang hadir. Dua ksatria kakak
beradik ini menampilkan teknik-teknik bela diri “tingkat-tinggi” yang memukau.
Sorak sorai dan tepuk tangan yang meriah. Rasa gembira kerabat keraton
terhenti, ketika pada satu gerakan tertentu Prabu Borosngora menarik kain yang
dipakainya telihat pada betis kirinya suatu rajah (tato) sebagi tanda (cap)
Perguruan Kesaktian (Kewedukan dan kedugalan) dari Ujung Kulon Banten Selatan.
Setelah acara selesai, diantara kerabat keraton, mengadukan
kejadian ini kepada Raja Prabu Cakradewa. Segera Prabu Cakradewa memanggi Prabu
Borosngora untuk meminta pejelasan tentang kebenaran laporan pengaduan tersebut
itu dihadapan ayahnya Prabu Borosngora mengakui adanya tanda rajah (tato) itu
segera menyadari kealpaannya. Selanjutnya ia mengutarakan maksud pemilikan ilmu
itu tak lain hanya untuk kepentingan bela Negara.
Dengan arif bijaksana Prabu Cakradewa memaklumi apa yang
diutarakan putranya prabu Borosngora itu namun segera beliau jelaskan, bahwa
memiliki ilmu dan kesaktian lahiriah (kedugalan, kewedukan) apapun jenis, sifat
dan tujuannya adalah terlarang bagi warga Panjalu. Karena bertentangan dengan
ajaran (papagon) Kerahayuan. Dijelaskan pula bahwa ilmu yang harus dimiliki
adalah ilmu sempurna yang hakiki (sejati) yang hanya memiliki pemahaman dan
pengalaman, dengan ilmu itulah kesejaahteraan hakiki yang abadi dapat tercapai
dan ilmu itu pula yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan generasi umat
mendatang.
Prabu Cakradewa selanjutnya memerintahkan Prabu Borosngora
untuk kembali berangkat dan mencari ilmu yang dimaksud hingga tercapai,
dimanapun ilmu itu berada.
Prabu Cakradewa menyatakan bahwa ilmu itu ada, dan putranya
bisa mencarinya. Menyusul perintah itu Prabu Cakradewa memberikanan Gayung
Bungbas (gayung kerancang / gayung lobang-lobang pada alasannya) kepada Prabu
Borosngora dengan perintah bahwa ia (Prabu Borosngora) tidak boleh pulang
sebelum mampu membawa air secara penuh pada gayung bungbas tersebut.
Demikianlah perintah itu mengandung arti mencari ilmu dengan kriteria
keberhasilannya diukur oleh kemampuan membawa air pada gayung yang
berlubang-lubang disekelilingnya secara penuh tanpa tercecer setetespun.
Perintah itu disampaikan Prabu Cakradewa dengan penuh rasa
kasih sayang, harapan dan keyakinan akan keberhasilannya. Dengan membawa gayung
bungbas disertai restu ayahnya maka berangkatlah Prabu Borosngora kembali
menjelajahi tatar pulau Jawa, mendatangi para Resi dan Pendeta Sakti berbagai
perguruan termasyhur, namun tak satupun diantara mereka yang mampu memberi ilmu
sebagimana yang diamanatkan ayahnya, bahkan ilmu-ilmu yang mereka meliki
ternyata dibawa kemampuan Prabu Borosngora sendiri.
Beliau berpandangan bahwa pada orang yang mampu
mengalahkannya saja ia akan beguru serta memperoleh keterangan tentang ilmu
sejati yang ingin dipelajari itu, percobaan mengambil air dengan Gayung Bungbas
itu melalui pergerakan segenap kesaktiannya tidak pernah berhasil, air tercecer
mengalir deras hingga habis.
Kebuntuan langkah terbayang menganggu pikiran dan perasaannya,
namun keyakinan berhasil sesuai petunjuk ayahnya mendorong semangat dan tekad
Prabu Borosngora untuk berjuang mencari dan memiliki ajaran ilmu yang dimaksud,
kapan dan dimanapun serta dengan konsekuensi apapun yang akan terjadi pada
dirinya.
Dari Pulau Jawa ia menyeberangi Selat Sunda menuju Pulau
Sumatera dan melalui jalur hubungan internasional ia sampai di Asia Barat serta
selanjutnya ia terdampar di Padang Arafah, Saudi Arabia. Menghindari sengatan
terik matahari ia berlindung pada suatu cekungan batu besar. Sambil
beristirahat ia bersemedi memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan jalan
kemudahan untuk memperoleh ilmu yang diharapkannya. Rasa frustasi kembali
timbul, namun ia yakin tidak akan mungkin ayahnya akan mencelakakannya, sehingga
semangatnya tumbuh dan sampai kemudian ia ditegur seorang tua berpakaian putih
bersih dihiasi rambut dan janggut yang putih bersih pula.
Pandangan orang tua itu terpancar penuh rasa kasih sayang
dengan tongkat ditangannya yang tertancap di pasir itu. Beliau menyapa Prabu
Borosngora. Dengan serta merta Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya mencari
orang yang mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati orang yang
mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati(hakiki) yang ia inginkan
memilikinya.
Menanggapi sikap dan pemaparan Prabu Borosngora disambut
orang tua itu dengan anggukan dan senyumnya kasih sayang. Dan segera beliau
mengajak Prabu Borosngora menuju tempat tinggalnya. Baru beberapa langkah
beliau menghentikannya diri dan melihat kebelakang karena tongkat yang
dipegangnya tadi ketinggalan tertancap di tanah pasir itu. Prabu Borosngora
memahami dengan segera mengambil tongkat tersebut dengan sebelah tangan, tetapi
tak bisa dicabut, ia merasa heran dan setelah melihat penampilan orang tua itu
yang malah tersenyum, sadarlah Prabu Borosngora bahwa ia kini telah diuji
kesaktiannya. Prabu Borosngora kemudian mengerahkan segenap kemampuannya
mencabut tongkat itu sehingga keluar butir-butir darah. Baginda Ali
(Rodiallaahu ‘Anhu), Khalifah Ke IV setelah Nabi Besar Muhammad SAW. Prabu
Borosngora mengutarakan maksudnya kedatangan akan kisah perjalanan di Jazirah
Arab ini (apakah benar-benar beliau ketemu khalifah Ali RA atau ulama/syeh yang
bernama Ali , sampai saat ini masih diperdebatkan).
Baginda Ali r-a memahami apa yang diutarakan Prabu
Borosngora dan menjelaskan bahwa ilmu sejati yang dimaksud adalah ilmu-ilmu
ajaran Islam. Sejak saat itu Prabu Borosngora Borosngora memeluk agama Islam
dan mempelajari ilmu-ilmu ajaran Islam. Ia bermukmin di Makkah Al-Mukaromah
atas petunjuk Sayidina Ali r-a.
Sementara di Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa merasa resah
berhubung kepergiaan Prabu Borosngora telah begitu lama belum juga kembali.
Beberapa ksatria keraton termaksud adiknya Sanghyang Panji Barani diperintahkan
untuk mencari tahu keberadaan Prabu Borosngora. Mereka berpencaran keseluruhan
pelosok tatar Pulau Jawa, namun tak dirimukan petunjuk keberadaannya, meskipun
demikian Sanghyang Cakradewa yakin bahwa Prabu Borosngora masih dan akan
kembali ke Panjalu. Keinginan Prabu Sanghyang Cakradewa untuk turun tahta dan
pergi bertapa tak dapat menunggu kedatangannya Prabu Borosngora. Beliau pergi
pergi bertapa membangun tempat pertapaan di Cipanjalu sekitar 4 km arah utara
kota Panjalu sekarang. Tahta kerajaan untuk sementara diserahkan kepada Prabu
Lembu Sampulur.
Di Makkah setelah dipandang cukup menekuni ajaran dan
ilmu-Ilmu keislaman, Prabu Borosngora bermaksud pulang ke Panjalu. Niatnya ini
disampaikan kepada Baginda Ali r-a kemudian Cis dan pakaian kehajian pemberian
Sayyidina Ali r-a dibawa ke Panjalu. Baginda Ali r-a memberi nama kehajian
kepada prabu Borosngora yakni H. Abdul Iman lengkap dengan seperangkat pakaian
kehajiannya.
Kedatangan Prabu Borosngora dengan ilmu ajaran Keislaman
yang diperolehnya disambut gembira dan perasaan bangga oleh PrabuCakradewa yang
kemudian memerintahkannnya untuk segera meletakkan dasar-dasar ajaran Keislaman
sebagai pedoman hidup dan falsafah Kerajaan. Perintah itu diwujudkan dengan
pengangkatan Prabu Borosngora sebagai Raja Soko Galuh Panjalu, disertai
kelengkapan tugasnya memindahkan Ibu Kota Kerajaan dari Dayeuh Luhur ke areal
Situ Lengkong Panjalu sebagimana terungkap pada Titah Sanghyang Cakradewa.
Demikian sejak itu Prabu Borosngora sebagi Raja Soko Galuh Panjalu, sedang
Prabu Lembu Sampulur II diserahi tugas memegang kekuasaan di wilayah Gunung
Tampomas Sumedang hingga kemudian menurunkan raja-raja Sumedang sebelum
keruntuhan Pajajaran.
Petunjuk yang diberikan Baginda Ali r-a kepada Prabu
Borosngora adalah segera pulang ke Panjalu dan ajarakan Agama Islam. Sebagai
“tand mata” Baginda Ali r-a memberikan barang perkakas berupa Pedang dan Ciss
(tombak bermata dua) kepada Prabu Borosngora sebagai kelengkapan tugas dan
perjuangannya menyebarkan Agam Islam. Selanjutnya Bagi Ali r-a menyuruh Prabu
Borosngora untuk mengambil air zam-zam dengan gayung bungbas yang dibawanya.
Ternyata atas izin Allah Swt, air zam-zam dapat ditampung dengan gayung
tersebut. Atas petunjuk dan nasihat Baginda Syayidina Ali r-a berangkatlah
Prabu Borosngora ke Panjalu.
Setibanya di Panjalu ternyata ayahnya Sanghyang Cakradewa
telah meninggalkan Kerajaan di Dayeuh Luhur dan bertapa di Panjalu. Atas
petunjuk dan saran Prabu
Lembu Sampulur II, Prabu borosngora kemudian berangkat
menemui ayahnya dipertapaan Cipanjalu dengan membawa Gayung Bungbas yang penuh
berisi air zam-zam dan pedang. Langkah pertama yang dilakukan Prabu Borosngora
yaitu membendung Areal Legok Pasir Jambu hingga menjadi Situ (Danau) serta
mencurahkan air zam-zam menyatu dengan air danau tersebut. Tanah yang tak
terbendung berwujud Nusa (pulau Kecil) ditengah danau.
Terdapat tiga buah nusa pada areal situ lengkong yang
masing-masing berfungsi sebagai bangunan kraton (Nusa Gede). Lokasi kepatihan
dan Paseban Kraton(Nusa Hujung) dan taman buah-buahan di Nusa Pakel. Dari
keraton Kepatihan dibangun jembatan penghubung yang terbuat dari balok-balok
kayu yang dinamakan Cukang
Padung. Bagian Ibu Kota Kerajaan Panjalu yang dibangun Prabu
Borosngora sebagimana berikut:
A.Istana Kerajaan, dikelilingi rumah para menteri dan
punggawa Keraton nusa gede
B.Kepatihan dan Paseban Keraton di Nusa Pakel
C.Taman buah-buah di nusa Pakel
D.Jembatan Cukang Padung dengan dua Gerbang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar