Nyangku 2011

Selasa, 29 Maret 2016

Hikayat Sanghyang Borosngora

Prabu Cakradewa dikaruniai enam orang anak: tiga orang putera dan tiga orang puteri, yaitu:
1.Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
2.Prabu Sahyang Borosngora
3.Sanghyang Panji Barani /Kiyai Santang
4.Ratu Mamprang Kancana Artaswayang
5.Ratu Pundut Agung
6.Ratu Anggarunting

Diantara putra-putrinya itu Prabu Borosngora dipandang memiliki bakat dan keperibadian yang layak memegang tahta kerajaan. Disadari bahwa ilmu dan pengalaman
putranya itu belum matang untuk memikul beban dan tanggung jawabnya sebagi raja, karena itu beliau mengharapkan calon pewaris/penerima tahta ini dapat membina
diri. Memiliki ilmu yang berguna bagi anak cucu generasi mendatang, yakni ilmu hakiki (sejati) yang dapat membawa keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat.

Semula Prabu Borosngora diberi tugas ayahnya sebagi Senopati kerajaan yang bertanggung jawab atas keamanaan, ketertiban dan keutuhan di wilayah kerajaan.
Tugas tersebut dijalankan Prabu Borosngora dengan baik dan mendapat sanjungan dari berbagi pihak terutama dari kalangan keraton.Dalam pada itu Prabu Sanghyang Cakradewa terdorong usia lanjut serta keinginan bertapa meninggalkan segala kehidupan duniawi, bermaksud turun dari tahta kerajaan. Beliau memanggil Prabu
Borosngora serta kemudian memerintahkan untuk segera berangkat mencari ilmu membina diri sebagai syarat bekal tanggung jawabnya sebagi raja. Atas petunjuk dan restu dari ayahnya segera Prabu Borosngoro berkemas pergi meninggalkan keraton berkelana mendatangi berbagi perguruan di tatar pulau Jawa.

Dalam menjalankannya ini beliau teringat akan tugasnya saat ini sebagi senopati kerajaan, beliau berpandangan bahwa untuk keperluan melindungi rakyat dan negara
dari berbagi rupa ancaman musuh, harus memiliki ilmu-ilmu kesaktian yang unggul yang disegani lawan. Dengan dasar pandangan itu ia kemudian mandatangi
perguruan-perguruan terkemuka, pendeta-pendeta linuhung, dan resi-resi termasyhur . Selanjutnya beliau membina diri dengan mengkombinasikan ilmu-ilmu tersebut
dengan pengembangan potensi dirinya. Hasil kreasi mandiri hingga menyatu sebagai kekuatan tunggal dirinya.

Kemampuan itu ia uji sendiri dengan menjajal siapapun yang dianggap orang paling sakti baik itu kesaktria, pendekar ataupun para pendeta dan para resi di seantero
Tatar Pulau Jawa.Setelah tak seorangpun para pendekar mampu menghalangkan barulah ia merasa puas dan bermaksud pulang ke Negeri Panjalu.Karena diyakini bahwa apa yang diharapkan ayahnya telah dapat ia penuhi. Kedatangan Prabu Boronsngora disambut gembira ayahnya (Prabu Cakradewa), keluarga dan kerabat keraton dan termaksud para kepentingan-kepentingan ksatria kerajaan.

Sebagai ugkapan kegembiraan dalam acara tahunan kerajaan digelar pesta dan menampilkan berbagai atraksi antara lain : Atraksi “Baksa” diselingi demonstrasi latih tanding keterampilan beladiri para ksatria. Pada acara ini Prabu Borosnongora diberi kesempatan pertama bersama kakaknya Prabu Lembu Sampulur II, maju ke gelanggang latih tanding. Dengan disaksikan para keluarga, kerabat keraton dan tamu undangan yang hadir. Dua ksatria kakak beradik ini menampilkan teknik-teknik bela diri “tingkat-tinggi” yang memukau. Sorak sorai dan tepuk tangan yang meriah. Rasa gembira kerabat keraton terhenti, ketika pada satu gerakan tertentu Prabu Borosngora menarik kain yang dipakainya telihat pada betis kirinya suatu rajah (tato) sebagi tanda (cap) Perguruan Kesaktian (Kewedukan dan kedugalan) dari Ujung Kulon Banten Selatan.

Setelah acara selesai, diantara kerabat keraton, mengadukan kejadian ini kepada Raja Prabu Cakradewa. Segera Prabu Cakradewa memanggi Prabu Borosngora untuk meminta pejelasan tentang kebenaran laporan pengaduan tersebut itu dihadapan ayahnya Prabu Borosngora mengakui adanya tanda rajah (tato) itu segera menyadari kealpaannya. Selanjutnya ia mengutarakan maksud pemilikan ilmu itu tak lain hanya untuk kepentingan bela Negara.

Dengan arif bijaksana Prabu Cakradewa memaklumi apa yang diutarakan putranya prabu Borosngora itu namun segera beliau jelaskan, bahwa memiliki ilmu dan kesaktian lahiriah (kedugalan, kewedukan) apapun jenis, sifat dan tujuannya adalah terlarang bagi warga Panjalu. Karena bertentangan dengan ajaran (papagon) Kerahayuan. Dijelaskan pula bahwa ilmu yang harus dimiliki adalah ilmu sempurna yang hakiki (sejati) yang hanya memiliki pemahaman dan pengalaman, dengan ilmu itulah kesejaahteraan hakiki yang abadi dapat tercapai dan ilmu itu pula yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan generasi umat mendatang.

Prabu Cakradewa selanjutnya memerintahkan Prabu Borosngora untuk kembali berangkat dan mencari ilmu yang dimaksud hingga tercapai, dimanapun ilmu itu berada.
Prabu Cakradewa menyatakan bahwa ilmu itu ada, dan putranya bisa mencarinya. Menyusul perintah itu Prabu Cakradewa memberikanan Gayung Bungbas (gayung kerancang / gayung lobang-lobang pada alasannya) kepada Prabu Borosngora dengan perintah bahwa ia (Prabu Borosngora) tidak boleh pulang sebelum mampu membawa air secara penuh pada gayung bungbas tersebut. Demikianlah perintah itu mengandung arti mencari ilmu dengan kriteria keberhasilannya diukur oleh kemampuan membawa air pada gayung yang berlubang-lubang disekelilingnya secara penuh tanpa tercecer setetespun.

Perintah itu disampaikan Prabu Cakradewa dengan penuh rasa kasih sayang, harapan dan keyakinan akan keberhasilannya. Dengan membawa gayung bungbas disertai restu ayahnya maka berangkatlah Prabu Borosngora kembali menjelajahi tatar pulau Jawa, mendatangi para Resi dan Pendeta Sakti berbagai perguruan termasyhur, namun tak satupun diantara mereka yang mampu memberi ilmu sebagimana yang diamanatkan ayahnya, bahkan ilmu-ilmu yang mereka meliki ternyata dibawa kemampuan Prabu Borosngora sendiri.

Beliau berpandangan bahwa pada orang yang mampu mengalahkannya saja ia akan beguru serta memperoleh keterangan tentang ilmu sejati yang ingin dipelajari itu, percobaan mengambil air dengan Gayung Bungbas itu melalui pergerakan segenap kesaktiannya tidak pernah berhasil, air tercecer mengalir deras hingga habis.

Kebuntuan langkah terbayang menganggu pikiran dan perasaannya, namun keyakinan berhasil sesuai petunjuk ayahnya mendorong semangat dan tekad Prabu Borosngora untuk berjuang mencari dan memiliki ajaran ilmu yang dimaksud, kapan dan dimanapun serta dengan konsekuensi apapun yang akan terjadi pada dirinya.

Dari Pulau Jawa ia menyeberangi Selat Sunda menuju Pulau Sumatera dan melalui jalur hubungan internasional ia sampai di Asia Barat serta selanjutnya ia terdampar di Padang Arafah, Saudi Arabia. Menghindari sengatan terik matahari ia berlindung pada suatu cekungan batu besar. Sambil beristirahat ia bersemedi memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan jalan kemudahan untuk memperoleh ilmu yang diharapkannya. Rasa frustasi kembali timbul, namun ia yakin tidak akan mungkin ayahnya akan mencelakakannya, sehingga semangatnya tumbuh dan sampai kemudian ia ditegur seorang tua berpakaian putih bersih dihiasi rambut dan janggut yang putih bersih pula.

Pandangan orang tua itu terpancar penuh rasa kasih sayang dengan tongkat ditangannya yang tertancap di pasir itu. Beliau menyapa Prabu Borosngora. Dengan serta merta Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya mencari orang yang mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati orang yang mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati(hakiki) yang ia inginkan memilikinya.

Menanggapi sikap dan pemaparan Prabu Borosngora disambut orang tua itu dengan anggukan dan senyumnya kasih sayang. Dan segera beliau mengajak Prabu Borosngora menuju tempat tinggalnya. Baru beberapa langkah beliau menghentikannya diri dan melihat kebelakang karena tongkat yang dipegangnya tadi ketinggalan tertancap di tanah pasir itu. Prabu Borosngora memahami dengan segera mengambil tongkat tersebut dengan sebelah tangan, tetapi tak bisa dicabut, ia merasa heran dan setelah melihat penampilan orang tua itu yang malah tersenyum, sadarlah Prabu Borosngora bahwa ia kini telah diuji kesaktiannya. Prabu Borosngora kemudian mengerahkan segenap kemampuannya mencabut tongkat itu sehingga keluar butir-butir darah. Baginda Ali (Rodiallaahu ‘Anhu), Khalifah Ke IV setelah Nabi Besar Muhammad SAW. Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya kedatangan akan kisah perjalanan di Jazirah Arab ini (apakah benar-benar beliau ketemu khalifah Ali RA atau ulama/syeh yang bernama Ali , sampai saat ini masih diperdebatkan).

Baginda Ali r-a memahami apa yang diutarakan Prabu Borosngora dan menjelaskan bahwa ilmu sejati yang dimaksud adalah ilmu-ilmu ajaran Islam. Sejak saat itu Prabu Borosngora Borosngora memeluk agama Islam dan mempelajari ilmu-ilmu ajaran Islam. Ia bermukmin di Makkah Al-Mukaromah atas petunjuk Sayidina Ali r-a.

Sementara di Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa merasa resah berhubung kepergiaan Prabu Borosngora telah begitu lama belum juga kembali. Beberapa ksatria keraton termaksud adiknya Sanghyang Panji Barani diperintahkan untuk mencari tahu keberadaan Prabu Borosngora. Mereka berpencaran keseluruhan pelosok tatar Pulau Jawa, namun tak dirimukan petunjuk keberadaannya, meskipun demikian Sanghyang Cakradewa yakin bahwa Prabu Borosngora masih dan akan kembali ke Panjalu. Keinginan Prabu Sanghyang Cakradewa untuk turun tahta dan pergi bertapa tak dapat menunggu kedatangannya Prabu Borosngora. Beliau pergi pergi bertapa membangun tempat pertapaan di Cipanjalu sekitar 4 km arah utara kota Panjalu sekarang. Tahta kerajaan untuk sementara diserahkan kepada Prabu Lembu Sampulur.

Di Makkah setelah dipandang cukup menekuni ajaran dan ilmu-Ilmu keislaman, Prabu Borosngora bermaksud pulang ke Panjalu. Niatnya ini disampaikan kepada Baginda Ali r-a kemudian Cis dan pakaian kehajian pemberian Sayyidina Ali r-a dibawa ke Panjalu. Baginda Ali r-a memberi nama kehajian kepada prabu Borosngora yakni H. Abdul Iman lengkap dengan seperangkat pakaian kehajiannya.

Kedatangan Prabu Borosngora dengan ilmu ajaran Keislaman yang diperolehnya disambut gembira dan perasaan bangga oleh PrabuCakradewa yang kemudian memerintahkannnya untuk segera meletakkan dasar-dasar ajaran Keislaman sebagai pedoman hidup dan falsafah Kerajaan. Perintah itu diwujudkan dengan pengangkatan Prabu Borosngora sebagai Raja Soko Galuh Panjalu, disertai kelengkapan tugasnya memindahkan Ibu Kota Kerajaan dari Dayeuh Luhur ke areal Situ Lengkong Panjalu sebagimana terungkap pada Titah Sanghyang Cakradewa. Demikian sejak itu Prabu Borosngora sebagi Raja Soko Galuh Panjalu, sedang Prabu Lembu Sampulur II diserahi tugas memegang kekuasaan di wilayah Gunung Tampomas Sumedang hingga kemudian menurunkan raja-raja Sumedang sebelum keruntuhan Pajajaran.

Petunjuk yang diberikan Baginda Ali r-a kepada Prabu Borosngora adalah segera pulang ke Panjalu dan ajarakan Agama Islam. Sebagai “tand mata” Baginda Ali r-a memberikan barang perkakas berupa Pedang dan Ciss (tombak bermata dua) kepada Prabu Borosngora sebagai kelengkapan tugas dan perjuangannya menyebarkan Agam Islam. Selanjutnya Bagi Ali r-a menyuruh Prabu Borosngora untuk mengambil air zam-zam dengan gayung bungbas yang dibawanya. Ternyata atas izin Allah Swt, air zam-zam dapat ditampung dengan gayung tersebut. Atas petunjuk dan nasihat Baginda Syayidina Ali r-a berangkatlah Prabu Borosngora ke Panjalu.

Setibanya di Panjalu ternyata ayahnya Sanghyang Cakradewa telah meninggalkan Kerajaan di Dayeuh Luhur dan bertapa di Panjalu. Atas petunjuk dan saran Prabu
Lembu Sampulur II, Prabu borosngora kemudian berangkat menemui ayahnya dipertapaan Cipanjalu dengan membawa Gayung Bungbas yang penuh berisi air zam-zam dan pedang. Langkah pertama yang dilakukan Prabu Borosngora yaitu membendung Areal Legok Pasir Jambu hingga menjadi Situ (Danau) serta mencurahkan air zam-zam menyatu dengan air danau tersebut. Tanah yang tak terbendung berwujud Nusa (pulau Kecil) ditengah danau.

Terdapat tiga buah nusa pada areal situ lengkong yang masing-masing berfungsi sebagai bangunan kraton (Nusa Gede). Lokasi kepatihan dan Paseban Kraton(Nusa Hujung) dan taman buah-buahan di Nusa Pakel. Dari keraton Kepatihan dibangun jembatan penghubung yang terbuat dari balok-balok kayu yang dinamakan Cukang
Padung. Bagian Ibu Kota Kerajaan Panjalu yang dibangun Prabu Borosngora sebagimana berikut:
A.Istana Kerajaan, dikelilingi rumah para menteri dan punggawa Keraton nusa gede
B.Kepatihan dan Paseban Keraton di Nusa Pakel
C.Taman buah-buah di nusa Pakel

D.Jembatan Cukang Padung dengan dua Gerbang

Wangsit (Wasiat) Sanghyang Borosngora - Syeh Panjalu

Gunung teu beunang dilebur – [Gunung tidak boleh digunduli]
Lebak teu beunang diruksak – [Lereng tidak boleh dirusak
Larangan teu beunang dirempak – [Larangan tidak boleh dilanggar]
Buyut teu beunang dirobah – [Aturan tidak boleh dirubah]
Layar teu beunang dipotong –[ Layar tidak boleh dipotong]
Pondok teu beunang disambung – [Pendek tidak boleh disambung]

Nyaur kudu diukur – [Bertutur (kata) harus diukur]
Nyablama kudu diungang – [Berkata harus yang benar]
Ulah ngomong sageté-geté – [Jangan berbicara seenaknya]
Ulah lemék sadaék-daék – [Jangan berucap semaunya]
Ulah maling papayungan – [Jangan mencuri perlindungan]
Ulah zinah papacangan – [Jangan berzinah ketika berpacaran]

Kudu ngadék sasekna  nilas saplasna – [Harus memotong sewajarnya – menepas sebaik-baiknya]
Mipit kudu amit ngala kudu menta – [Memetik harus pamit – menuai harus minta (dulu) ]
Ngeduk cikur kudu mihatur – [Mengambil kencur harus dengan tutur (kata dulu)]
Ngagedak kudu bewara – [Memotong harus dengan pernyataan]

Nu lain kudu dilainkeun – [Yang lain harus dilainkan]
Nu ulah kudu diulahkaeun – [Yang tak boleh harus dilarang]
Nu enya kudu dienyakeun – [Yang benar harus dibenarkan ]
Ulah cueut kanu beureum – [Tidak boleh tertarik kepada yang merah]
Ulah ponténg kanu konéng – [Tidak boleh tertarik kepada yang kuning]

Karana lamun dirempak – [Karena kalau dilanggar]
Matak burung jadi ratu – [Akan busuk menjadi  ratu]
Matak édan jadi ménak – [Akan édan (gila) menjadi pejabat]
Matak pupul pangaweruh – [Akan habis  pengetahuan]
Matak hambar komara – [Akan jatuh wibawa]
Matak teu mahi juritna – [Akan kalah dalam pertempuran ]
Matak teu jaya perangna – [Tidak akan jaya dalam peperangan]
Matak sangar ka nagara. – [Akan (membawa) apes negara.]

Minggu, 13 Maret 2016

Dr Koorders dan Situ Panjalu



 
Seringkali situ Panjalu sering dikait-kaitkan dengan Dr Koorders. Memang batul, karena pulau yang ada di tengah-tengah yang bernama Nusa Gede disebut juga pulau Koorders. Siapa sebenarnya Koorders ini?

Sijfret Hendrik Koorders lahir di Bandung, 29 Nopember 1863. Dibesarkan di Haarlem Belanda, lalu belajar ilmu kehutanan di Berlin. Tahun 1884, ia ditugaskan ke Jawa sebagai pejabat kehutanan, tapi lebih minat dengan tumbuh-tumbuhan.

Antara 1884-1918, Koorders melakukan banyak ekspedisi di Jawa, sebagian Sumatera dan Minahasa. Dari ekspedisi itu, ia mengoleks 40.000 spesimen herbarium, lalu ia menulis 240 artikel ilmiah dan mendeskripsikan 596 jenis tumbuhan dengan kode “kds”. Jika kita membaca nama ilmiah “Pandanus bantamensin Kds”, artinya Koorders adalah orang pertama yang mendeskripsikan Pandanus bantamensin melalui publikasi ilmiah. Disela-sela kerja dan penelitiannya, ia selesaikan disertasi doktornya tahun 1897 di bidang botani dari Universitas Bonn, Jerman.

Bagi seorang peneliti, mendeskripsikan jenis baru adalah prestasi dan kebanggaan karena prosesnya yang rumit. Sebagai penghormatan atas prestasinya, 25 ilmuwan mengabadikan Koorders menjadi nama marga tumbuhan (Koordersiodendron dan Koordersiochloa), 37 jenis dan 2 variasi jenis tumbuhan. Kalau sekarang, asal bisa bayar ke penemunya, nama kita bisa diabadikan sebagai nama jenis. Tapi dulu, pemberian nama merupakan penghargaan atas prestasi seseorang.


Keluarga Dr Koorders sedang menunggang kuda di pegunungan Tengger

Selain di bidang botani, Koorders juga membidani lahirnya Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda pada tanggal 22 Juli 1912. Perkumpulan itu dibentuk karena prihatin atas kerusakan hutan yang ada pada saat itu. Koorders menjadi ketua perkumpulan hingga meninggal tahun 1919. Saya pikir, Perkumpulan ini adalah LSM pertama di bidang konservasi di Indonesia, walaupun dari  19 anggota hanya satu pribumi asli, Pangeran Poerbo Atmodjo (Bupati van Kutohardjo).

Dalam kepemimpinannya, Perkumpulan ini berhasil mendirikan dan mengelola Monumen Alam (MA) Depok (1913), MA Rumphius di Ambon (1913), mengajukan sejumlah kawasan menjadi monumen alam, dan mengusulkan Ordonansi Monumen Alam (1916) kepada pemerintah. Natuurmonumenten Ordonantie itu akhirnya terbit tahun 1916, disusul penunjukan 55 monumen alam (1919), 7 monumen alam (1920), dan 6 monumen alam (1921).
Dr. Koorder sedang bekerja di laboratorium dengan para staffnya. Foto th 1890-1900.

Dr. Koorders dan istrinya (Anna Koorders ) di Purworejo. Maret 1906
Koorders meninggal tanggal 16 Nopember 1919 akibat penyakit paru-paru. Ia dimakamkan di Cikini (Weltervreden). Wafatnya Koorders, pejabat kehutanan yang ahli botani itu mendorong 11 ilmuwan ternama seperti Alfred Russel Wallace, menuliskan kenangannya dalam jurnal ilmiah Tectona dan Bulletin du Jardin Botanique. Sebagai penghormatan atas jasanya, Perkumpulan mengusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama MA Pulau Nusa Gede di Danau Panjalu (sekarang Situ Lengkong) menjadi Pulau Koorders dan MA Koorders. Usulan itu disetujui pada tahun 1921.
Dr. Koorders dan istrinya (Anna Koorders) di Purworejo. Maret 1906

Papan keterangan di gerbang masuk ke pulau "Koorders"


CAGAR ALAM PANJALU/KOORDERS
KEADAAN FISIK KAWASANLuas dan letak
Kawasan hutan Panjalu/koorders ditetapkan sebagai Cagar Alam (CA) berdasarkan Gb. Tanggal 21-2-1919 Nomor : 6 Stbl. 90, dengan luas lahan 16 Ha. Cagar alam ini terletak di tengah danau (situ) yaitu : Situ Lengkong, secara astronomis terletak antara 7 derajat 9� � 7 derajat 17� LS dan 108 derajat4� � 108 derajat 21� BT. Sedangkan menurut administrasi pemerintahan termasuk kedalam wilayah desa Panjalu Kabupaten Ciamis.

Topografi
Keadaan topografinya termasuk datar dengan ketinggian tempat 731 � 760 meter di atas permukaan laut.

Iklim
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim Kawasan ini termasuk iklim tipe B dengan curah hujan rata-rata 3.195 mm per tahun. Suhu rata-rata 19-32 derajat Celsius.

 POTENSI BIOTIK KAWASAN

Flora
Vegetasi yang ada di Cagar Alam Panjalu cukup banyak jenisnya, sebagian besar merupakan hutan primer yang masih utuh. Tumbuhan yang mendominasi kawasn ini adalah : Kihaji (Dysoxilum sp), Kileho (Sauraula sp), Kondang (Ficus variegata), Kiara (Ficus sp), Bungur (Lagerstromia sp), dan Huru (Litsea sp), sedangkan tumbuhan bawah diantaranya adalah : Rotan (Calamus sp), Tepus (Zingi beraceae) dan Langkap (Arenga sp).

Fauna
Satwa liar yang banyak dan mudah dijumpai adalah : Kalong (Pteropus vampyrus). Janis fauna lainnya adalah Tupai (Calosciurus nigrivittatus), Trenggiling (Manis javanicus), Biawak (Varanus salvator), Ular Sanca (Phyton repticulatus) dan beberapa jenis burung seperti Burung Hantu (Otus scops), Elang (Haliastur indus) dan Gelatik  (Munia sp).

AKSESIBILITASUntuk menuju kawasan Cagar Alam Panjalu dapat di tempuh melalui :
  1. Bandung � Ciawi � Panjalu, sejauh � 95 Km.
  2. Tasikmalaya � Rajapolah �Cihaurbeuti � Panjalu, berjarak � 40 Km.
  3. Ciamis � Cihaurbeuti � Panjalu berjarak � 40 Km.

Baca juga:
Peta Panjalu

Kelestraian Situ "Koorders" Panjalu



Sumber:
http://suerdirantau.wordpress.com
http://commons.wikimedia.org