Acara Nyangku di Alun-alun

Acara Nyangku di Alun-alun

Selasa, 20 Januari 2015

“NYANGKU” HARUS DILESTARIKAN

Penghormatan Atas Jasa Para Leluhur

PANJALU, ( KP), -
Senin (19/1/2015) alun-alun Panjalu berbeda dengan hari biasanya. 
Di tempat itu ribuan warga dari berbagai daerah tumplek untuk menyaksikan upcara adat nyangku, yakni proses pencucian benda pusaka peninggalan Prabu Sanghiang Boros Ngora.
Selain dipadati warga, tampak hadir Bupati Ciamis Iing Syam Arifin dan para pejabat teras lainnya.
Juru Kunci Bumi Alit, Usup Sanusi mengatakan, kegiatan ini selalu dilakukan secara rutin setiap tahun, pada bulan Maulid. 
Upacara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Prabu Sanghiang Boros Ngora atas jasa-jasanya, sebagai Raja Galuh penyebar agama Islam pertama dan tradisi ini sudah diperingati sejak jaman Prabu Sanghiang Boros Ngora. 
Lebih lanjut menurut Usup, prosesi pencucian benda pusaka peningalan Prabu Sanghiang Boros Ngora, dimulai berangkat dari tempat penyimpanan pusaka di Bumi Alit. 
Setelah itu pukul 08.00 pusaka dibawa menuju Nusa Gede Situ Lengkong untuk dilaksanakan ritual tertentu. Setelah selesai pusaka tersebut dibawa lagi ke alun -alun untuk dilaksanakan prosesi penyucian pusaka dengan tirta kahuripan, yang diambil dari 9 sumber mata air.
Usai pencucian, pusaka-pusaka tersebut dibungkus lagi dengan kain putih untuk disimpan di Bumi Alit.
Bupati Kabupaten Ciamis. H. Iing Syam Arifin, mengatakan, budaya adat nyangku yang biasa dilaksanakan oleh warga Panjalu, sudah merupakan aset wisata budaya Ka­bupaten Ciamis yang harus terus dilestarikan.
Bupati Iing Syam Arifin meng­imbau kepada masyarakat agar tradisi budaya nyangku ini, agar dipahami oleh masyarakat agara budaya nyangku ini jangan dijadikan sebagai budaya rebutan air, tetapi sebagai wu­jud penghormatan terhadap pa­ra leluhur kita atas jasa-jasanya. 
Bahkan kini Pemkab Ciamis telah membuka lagi akses jalan supaya warga yang berada di luar Kab. Ciamis lebih mudah untuk datang ke Panja­lu, “ ujarnya. ( E. Setia Budi). ***

Sumber:http://www.kabar-priangan.com/

Baca:

Nyangku Menjaga Kearifan Lokal

PANJALU – Ribuan warga memadati Alun-alun Panjalu sejak pagi. Mereka berdesakan ingin menyaksikan tradisi pembersihan pusaka peninggalan Kerajaan Galuh. Kegiatan dihadiri Bupati Ciamis Drs H Iing Syam Arifin dan sejumlah pejabat daerah.
Upacara dimulai sekitar pukul 07.30 pagi dengan mengeluarkan benda-benda pusaka dari Bumi Alit- tempat menyimpan benda pusaka- dan diarak dengan cara digendong oleh keturunan raja Panjalu menuju Nusa Gede. Iringan shalawat mengiringi prosesi rombongan menuju pemakaman raja Panjalu terakhir yakni Prabu Borosngora sebelum akhirnya dibawa kembali ke Alun-alun Panjalu.
Semua pusaka itu dibersihkan menggunakan air dari sembilan mata air yang ada di Taman Borosngora alias alun-alun. Sembilan mata air itu bersumber dari Gunung Bitung Majalengka, Cilengkong Panjalu, Cipanjalu Desa Bahara, Kapunduhan Cibungir Kertamandala, Batu Bokor Cikadu Sindang Barang, Cilimus Jaya Giri, Citatah Sanding Taman, Karantenan Gunung Syawal, Pangbuangan Garahang Panjalu dan Geger Emas Ciomas.
Setelah dibersihkan pusaka kemudian dibungkus dan disimpan kembali ke Bumi Alit. Pembersihan secara simbolis hanya dilakukan terhadap tiga benda pusaka. Antara lain pedang Zulfikar yang dipercaya merupakan pemberian Sayidina Ali, Kujang Panjalu dan Keris Stok Komando.
Keluarga Yayasan Borosngora Prof Johan Wiradinata mengatakan tradisi Nyangku merupakan simbol membersihkan diri. Kegiatan itu juga menjadi ajang silaturahmi warga Panjalu dan warga Kabupaten Ciamis.
“Kalau dulu Nyangku ini sebagai even bertemunya para tokoh. Kendalannya saat ini tidak datangnya para pejabat karena nyangku diadakan pada hari Senin terakhir di bulan Mulud. Dimana hari pertama ini sebagai hari kerja, banyak yang mengusulkan di akhir pekan namun karena sebagai penghormatan sejak dulu dan diyakni sebagai hari lahirnya Nabi Muhammad SAW,” jelasnya.
Dia menuturkan upacara adat Nyangku akan terus dilestarikan sebagai kearifan lokal Panjalu. Upacara ini juga sebagai salah satu alat untuk membendung budaya asing masuk ke daerah itu. “Meskipun tidak semua budaya asing negatif namun ada beberapa hal yang perlu diantsipasi. Dengan kearifan lokal yang kuat maka hal itu bisa terbendung,” katanya.
Bupati Ciamis Drs H Iing Syam Arifin menyebut upacara adat Nyangku merupakan momen tepat untuk memperkenalakan Situ Lengkong Panjalu. Festival tersebut adalah kekayaan Ki Sunda yang masih lestari hingga kini. “Kita harus menjaga keasrian lingkungan sehingga jadi daya tarik. Supaya potensi wisata budaya religi tergali,” kata Iing.
Iing berjanji tahun 2015 pemerintah akan menata obyek wisata Situ Lengkong Panjalu. Kedepan lokasi wisata ini menjadi andalan Ciamis setelah Pangadaran berpisah. (dhs)

Sumber:http://www.radartasikmalaya.com/

Selasa, 13 Januari 2015

Dede Yusuf, Turunan Raja Panjalu

BEBERAPA waktu yang lalu, Yayasan Borosngora membuat silsilah resmi Wakil Gubernur Jawa Barat, Yusuf Macan Effendi. Silsilah tersebut ditandatangani oleh sekretaris Yayasan Boros Ngora, Bapak Ikin Susanto. Dari silsilah Yusuf Macan Efendi yang saya pelajari dari garis ibunya, ternyata leluhur Dede Yusuf berasal dari Kampung Simpar, Panjalu, Ciamis.
Dede Yusuf ikut dalam iring-iringan pembawa pusaka dalam
acara Nyangku tahun 2007


Bermula dari Dalem Cakranagara I yang memiliki tujuh orang putra. Diantaranya adalah Nyi Raden Panatamantri (putra keempat), yang kemudian dinikahi oleh Demang Diramantri (Patih Panjalu). Selanjutnya Nyi Raden Panatamantri mempunyai sembilan keturunan. Anak keduanya adalah Demang Wangsadipraja, yang menjadi Patih Panjalu juga. Selanjutnya Demang Wangsadipraja mempunyai 14 keturunan, diantaranya adalah Demang Cakrayuda (anak kedua).

Demang Cakrayuda selanjutnya menjadi patih Kuningan (1819-1825), dan memperistri Nyi Raden Rengganingrum (putri Dalem Cakranagara II). Anak yang pertama bernama Raden Warga Bangsa atau lebih dikenal dengan nama Raden Haji Abdul Hamid. Selanjutnya Raden Haji Abdul Hamid menikahi Nyi Raden Natadiningrat Binti Demang Moekadikoesoemah. Konon anaknya berjumlah 23 orang dari dua istrinya. Diantaranya adalah Raden Wangsa Soedjatmadiwiria.

Raden Wangsa Soedjatmadiwiria  menikah dengan Nyi Raden Padmita, daan memiliki tiga keturunan, yaitu Nyi Raden Erni, Nyi Raden Hadidjah, dan Raden Moh. Saleh.

Nyi Raden Hadidjah atau dikenal juga Nyi Raden Djodjoh menikah dengan Yusuf Effendi, yang kemudian mempunyai anak bernama Nyi Raden Rahayu Effendi. Nah, selanjutnya Nyi Raden Rahayu Effendi mempunyai anak bernama Yusuf Macan Effendi (Dede Yusuf), yang kini menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat. Baca: Silsilah keturunan Panjalu

Jumat, 02 Januari 2015

Situ Lengkong jaman Belanda

Situ Lengkong jaman Belanda


Situ Lengkong 1880-1898

Situ Lengkong 1910-1925

Situ Lengkong 1925-1933

Situ Lengkong 1925-1933

Situ Lengkong 1925-1933


Kamis, 01 Januari 2015

SEJARAH KERAJAAN PANJALU

SEJARAH KERAJAAN PANJALU
oleh Basyar Isya
Sejarah Kerajaan Panjalu:
Gus Dur Angkat Pamor Sejarah yang Terpendam
KEDATANGAN K.H. Abdurahaman Wahid alias Gus Dur, pada Juli 2000 silam ke Situ Panjalu, telah memberikan berkah untuk Panjalu. Beliau yang saat itu menjabat Presiden RI, telah mengangkat pamor sejarah Panjalu. Gus Dur berkunjung ke sana karena menurutnya Raja Panjalu yang bernama Prabu Sanghyang Borosngora atau Sanghyang Jampang Manggung, termasuk salah satu raja yang pertama menyebarkan agama Islam di Jawa atau Indonesia.
Implikasi dari ucapan Gus Dur tersebut luar biasa. Situ Panjalu yang biasanya hanya dikunjungi warga Ciamis dan Tasikmalaya, tiba-tiba banyak dikunjungi warga dari daerah Jateng, Jatim, dan Madura, terutama dari kalangan warga NU. "Kedatangan mereka terutama untuk wisata ziarah. Setiap harinya minimal satu bus," kata Sekretaris Yayasan Borosngora, Ikin Susanto.
Bukan hanya itu saja. Jalan menuju ke Kecamatan Panjalu pun diaspal hotmix, baik jalan dari arah timur Kawali, arah utara Cikijing, maupun dari arah Tasikmalaya. "Kedatangan Gus Dur telah memberikan manfaat sangat besar bagi Panjalu," tambah Kiai Acep Effendi, tokoh ulama setempat.
Ikin Susanto termasuk salah seorang keturunan keluarga kerajaan Panjalu, sedangkan keturunan dari Raja Prabu Sanghyang Borosngora yang terakhir dan masih hidup adalah H. Atong Tjakradinata. Dari Ikin dan Atong inilah sekilas didapatkan cerita tentang kerajaan Panjalu tempo doeloe. Ditemui secara terpisah, dua sosok ini secara lisan menceritakan nama-nama raja Panjalu. Baca: Silsilah Keturunan Panjalu.
Sejarah
Kerajaan Panjalu terbentuk dari gabungan dua kerajaan, yakni Gunung Bitung (Soko Galuh) dan Karangtenan Gunung Sawal. Kerajaan Gunung Bitung, awalnya dipimpin Sanghyang Tunggal Ratu Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Kerajaan tersebut kemudian diwariskan kepada Batara Babar Buana, lalu Ratu Galuring Sajagat, Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa.
Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa memiliki tiga anak kembar, yaitu Sanghyang Bleg Tambleg Rajagulingan, Sanghyang Pamonggang Sangrumanghyang dan Sanghyang Ratu Permana Dewi. Ketiga anak raja tersebut memiliki karakter berbeda. Sanghyang Ratu Permana Dewi, misalnya, memiliki karakter lembut dan mengembangkan kerahayuan/kedamaian sewaktu memimpin.
Syanghyang Ratu Permana Dewi menikah dengan Raja Gumilang. Ia keturunan dari Kerajaan Karangtenan Gunung Sawal. Raja pertamanya Prabu Tisna Jati, lalu ke Batara Layah, Karimun Putih, dan Marangga Sakti. Raja Marangga Sakti inilah ayahanda dari Rangga Gumilang.
Karena rakyat sangat mencintai Sanghyang Ratu Permana Dewi, yang memimpin kerajaan bernama Soka Galuh, maka rakyatnya memberi gelar tambahan, yaitu Soka Galuh Panjalu. Arti Panjalu ini, kata Atong Tjakradinata, adalah wanita. Kata itu berasal dari "jalu" bermakna laki-laki, sedangkan tambahan "pan" itu berarti wanita. Ikin menambahkan, kata “pan” bisa berarti papan untuk laki-laki. Jadi panjalu mengandung arti istri.
Gelar Panjalu untuk Sanghyang Ratu Permana Dewi, yang dimasukkan dalam nama kerajaannya, karena kecintaan rakyatnya atas kepemimpinan sang ratu. Selama kepemimpinannya sang ratu telah mewariskan sejumlah falsafah hidup yang dipegang warga Panjalu hingga sekarang.
Di antaranya, “Mangan Karena Halal, Pake Karena Suci, Ucap Lampah Sabenere”. Menurut Atong maupun Ikin, falsafah itu memiliki arti sangat dalam untuk kehidupan orang Panjalu. Mereka (warga Panjalu) harus memakan barang yang halal. Bahkan, kata Atong, arti “makan” di sini sangat luas. Tidak hanya semata memasukkan barang yang padat ke mulut, tetapi juga semua yang bisa ditangkap dan dirasakan pancaindera, baik itu mata, tangan, maupun indera yang lainnya. Mata, misalnya, jangan melihat yang tidak pantas dilihat.
Falsafah tersebut sebenarnya untuk mengingatkan warga Panjalu. Semua yang dipakai dan dimakan harus merupakan hasil jerih payah yang baik atau hasil bekerja secara benar. Semua tindakan dan ucapan mesti mengacu kepada kebenaran. "Jika falasah tersebut terus dijaga, maka warga Panjalu di mana pun berada, pasti selamat," tegas Atong.
Keturunan
Dari pernikahan Rangga Gumilang dengan Sanghyang Ratu Permana Dewi itu, lahirlah Prabu Sanghyang Lembu Sampulur Panjalu Luhur I. Kerajaan tersebut kemudian diturunkan lagi kepada anaknya yang bernama Prabu Sanghyang Cakradewa. Cakradewa dianggap salah seorang raja yang mahasakti. Akan tetapi, yang menonjol, ia kabarnya termasuk yang ragu dengan keberadaan dewa, sehingga arti "cakra" pada namanya bermakna menolak dewa. Ajaran yang dikembangkannya, yaitu Sunda Wiwitan.
Raja ini punya enam anak yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II, Prabu Sanghyang Borosngora, Sanghyang Panji Barani, Mamprang Kancana Artas Wayang, Ratu Punut Agung, dan terakhir Angga Runting. Putri kedua terakhir ini, kabarnya menikah dengan Prabu Siliwangi.
Raja Cakradewa karena tidak percaya atas keberadaan dewa, memerintahkan putranya Prabu Borosngora untuk mencari ilmu yang bisa menjawab keraguan yang menyelimuti dirinya. Pada awalnya, Prabu Borosngora mencari ilmu bela diri. Namun demikian, ilmu yang telah dikuasainya itu ternyata bukan yang diharapkan orangtuanya. Akhirnya, Borosngora kembali keluar dari kerajaan, tetapi kali ini Raja Cakradewa memberi syarat. Borosngora harus membawa gayung untuk membawa air saat pulang. Hanya saja gayung tersebut harus dilubangi, sehingga tidak memungkinkan Borosngora berhasil membawa air.
Meski perintah atau syarat tersebut tidak logis, tetapi karena titah sang raja, akhirnya Prabu Borosngora berangkat juga untuk mencari ilmu. Di perjalanan, di sebuah padang pasir, ia kabarnya bertemu dengan seseorang. Orang itu mengaku bernama Sayidina Ali. Dalam pertemuan tersebut, Prabu Borosngora menyampaikan keinginannya untuk mencari guru yang punya ilmu tinggi.
Mendengar penuturan tersebut, Borosngora pun kemudian diajak berjalan-jalan. Di sebuah tempat, orang tersebut sengaja menancapkan tongkatnya dan meminta Borosngora untuk mencabutnya. Borosngora awalnya menganggap keinginan orang yang baru dikenalnya itu sebagai hal yang mudah. Ia mungkin berpikir, apa sulitnya mencabut sebatang tongkat yang ditancapkan tidak begitu dalam. Akan tetapi, kenyataannya di luar dugaan. Meski sudah berusaha sekuat tenaga, bahkan mencucurkan keringat, tongkat tersebut jangankan berhasil dicabut, bergoyang pun tidak. Borosngora akhirnya menyerah.
Orang yang mengaku salah satu sahabat Nabi Saw itu lalu mendekati Borosngora. Sambil membaca “Basmallah”, hanya dengan satu tangan, ia dengan mudah mencabut tongkatnya. Melihat pemandangan di luar dugaannya, Borosngora pun terheran-heran. Singkat cerita, akhirnya Borosngora bahkan memutuskan diri untuk berguru.
Setelah bertahun-tahun berguru, akhirnya Prabu Borosngora berniat untuk pulang ke Panjalu. Sebelum pulang, dia diberi ilmu untuk memenuhi permintaan ayahnya, Raja Cakradewa, sehingga ketika tiba di Kerajaan Panjalu, ia berhasil membawa air dengan gayung sekalipun berlubang.
Melihat kedigjayaan anaknya, Raja Cakradewa memerintahkan anaknya agar membendung daerah Legok Jambu. Adapun air yang berada di dalam gayung harus disiramkan di daerah itu. Ajaib, setelah semua dilakukan, Legok Jambu pun berubah menjadi situ, yang kemudian diberi nama Situ Panjalu.
Prabu Borosngora punya anak bernama Prabu Hariang Kancana. Makamnya berada di tengah situ atau lebih dikenal dengan Nusa Gede. Keturunan lainnya dari Prabu Hariang Kancana adalah Prabu Hariang Kuluk Kunang Teko, Prabu Hariang Kadali Kancana, Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya, lalu turun lagi ke Prabu Hariang Kunang Natabaya. Makam-makam raja ini sekarang ditemukan di beberapa tempat di daerah Panjalu.
Kerajan Bubar
Kerajaan Panjalu bubar sekira tahun 1250, lalu bergabung masuk ke wilayah Keraton Cirebonan dan jabatan raja berganti menjadi Bupati. Keturunan dari kerajan ini adalah Bupati Sembah Dalem Arta Sacanata, Dalem Wiradipa. Diteruskan lagi oleh Sembah Dalem Cakranagara I, Sembah Dalem Cakranagara II, dan Sembah Dalem Cakranagara III yang juga merupakan bupati terakhir, yaitu tahun 1819. Bupati terakhir ini juga dimakamkan di tengah situ.
Keturunan bupati terakhir, yaitu Demang Prajadinata dikenal sebagai pemilik Situ Lengkong. Dari Demang, keturunan berikutnya adalah R.H. Muh Nur Tjakrapraja, lalu R.H. Nur Rohman Galib Tjakradinata, sampai ke keturunan yang sekarang, yaitu H. Atong Tjakradinata.
Untuk mengenang kerajaan Panjalu, biasanya ada satu tradisi yang bernama Nyangku. Tradisi tersebut yaitu membersihkan pedang dan senjata lainnya. Pedang yang dibersihkan itu kabarnya pernah digunakan oleh Prabu Borosngora. Sekarang pedang dan senjata itu, disimpan di bumi alit yang bersebelahan dengan kediaman Atong.*** (Diposting oleh Tata. Editing oleh Basyar Isya).
Baca:
Bumi Alit Panjalu.
Upacara Nyangku.
Silsilah Keturunan Panjalu.

Nusa Gede di Tengah Situ Panjalu

Situ Panjalu jaman Belanda
Nusa Gede di Tengah Situ Panjalu
Cagar Alam Sekaligus Cagar Budaya
Nusa Gede, demikian warga adat Panjalu atau mereka yang memiliki darah
keturunan Panjalu, kerap menyebut pulau kecil seluas 16 hektaree di
tengah Situ Lengkong atau Situ Panjalu. Namun, ada juga yang
menyebutnya sebagai Nusa Panjalu atau Nusalarang. Berada pada
ketinggian sekira 700 meter di atas permukaan laut, masuk dalam
wilayah Desa dan Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat.
OBJEK wisata Situ Panjalu Kab. Ciamis dengan Pulau Nusa tempat makam
bersejarah. Di objek ini bisa rekreasi keliling perahu.*UNDANG
SUDRAJAT/"PR"

Pada masa penjajahan Belanda, perhatian sangat besar ditujukan
terhadap keberadaan dan kelestarian Nusa Gede. Sebagai bentuk
penghargaan kepada Dr. Koorders, ketua pertama Nederlandsch Indische
Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan
alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863, Nusa Gede berubah nama
menjadi Pulau Koorders.

Bahkan, pada 21 Februari 1919 area Situ Lengkong dengan Nusa Gede atau
Nusa Panjalu atau Nusalarang-nya dinyatakan sebagai kawasan cagar alam
yang benar-benar dijaga kelestarian alam serta budaya yang ada di
dalamnya.

Koorders pada zamannya, dikenal sebagai seseorang yang menaruh
perhatian besar pada botani. Bersama perkumpulannya yang diketuai,
dirinya memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau
Jawa. Dibantu TH Valenton seorang ahli botani, pekerjaan mengumpulkan
herbarium dan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.

Karen Koorders dan Valenton serta rekannya, akhirnya berhasil
memberikan sumbangan yang tidak kecil pada dunia ilmu pengetahuan
mengenai tumbuhan. Kemudian hasil penelitian tersebut dituangkan dalam
bukunya, "Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java", sebuah
buku tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.

Sebagai kawasan cagar alam yang berada dalam pengawasan KPH Ciamis,
Nusalarang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan
tumbuh secara alami. Wisatawan yang berkunjung dapat menikmati
berbagai jenis flora.

Saat memasuki kawasan, pengunjung sudah disambut pepohonan rotan
(Calamus Sp), tepus (Zingiberaceae), dan langkap (Arenga). Semakin
masuk ke dalam, pengunjung akan melihat pepohonan besar kileho
(Sauraula Sp), kihaji (Dysoxylum) dan kikondang (Ficus variegata).

Selain jenis flora, di kawasan Nusa Gede juga dapat ditemui berbagai
jenis fauna, sebut saja antara lain tupai (Calosciurus nigrittatus),
burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus). Sementara
Elang jambul putih hanya sesekali mendatangi Nusa Gede.

Belakangan menurut keterangan Wawan, salah seorang petugas Perhutani
KPH Ciamis, populasi kalong di daerah itu bertambah dengan
berdatangannya kawanan kalong dari Astana Gede Kawali.

Astana Gede yang terletak di Kecamatan Kawali, enam kilometer arah
utara Kota Ciamis, itu selama ini dianggap sebagai pusat Kerajaan Galuh.

Kawanan kalong yang bersarang di situs tersebut dikabarkan sudah lebih
dulu hijrah ke Situ Lengkong, jauh sebelum terjadi bencana angin ribut
melanda situs Astana Gede Kawali. Situs Astana Gede Kawali dipercaya
mempunyai hubungan sejarah dengan situs Panjalu di Nusalarang.

Namun, setiap wisatawan yang berkunjung ke Situ Lengkong dan Nusa
Gede, kebanyakan tujuan utamanya bukan untuk menikmati keindahan alam
atau menyaksikan flora dan faunanya, tetapi umumnya wisatawan yang
berkunjung, datang untuk mengunjungi pulau yang terdapat makam leluhur
masyarakat Panjalu yang menjadi perintis penyebaran agama Islam di Jabar.

Nusa Gede atau Nusa Larangan merupakan pemakaman raja-raja Panjalu dan
keturunannya sampai Bupati Panjalu terakhir, Dalem Tjakranegara III.
Berdasarkan gambar dan buku klasiran desa tahun 1937, luas Situ
Lengkong mencapai 69,98 hektare dan Nusa Gede hanya 9,25 hektare.

Pemilik keturunan terakhir Situ Lengkong, Demang Prajadinata,
dikabarkan meninggal di Mekah. Namun, sebelum berangkat pada tahun
1908, beramanat agar Situ Lengkong dijadikan tanah hak kulah. Air dan
ikannya dizariahkan, sedangkan pemeliharaannya diserahkan ke
pemerintah desa.

Pada tahun 1929 pernah terjadi gugatan, tetapi dapat diselesaikan.
Dengan surat keputusan gubernur jenderal saat itu, Situ Lengkong
akhirnya dinyatakan tidak termasuk kekayaan pemerintah. Saat itu,
kedalaman air Situ Lengkong di daerah tertentu mencapai lebih dari 10
meter. Jika dilihat dari jauh, warnanya membiru.

Namun, kini kondisinya benar-benar sudah berubah. Luas Nusa Gede
menjadi 16 hektare sementar luas Situ Lengkong semakin menyempit. Hal
ini diakibat kerusakan daerah hulu, kedalaman air situ tersebut kini
antara 7 hingga 4 meter. Sedimentasi yang terus berlangsung akibat
penebangan pohon-pohon di daerah hulu Cipanjalu, dikhawatirkan akan
mengakibatkan Situ Lengkong berubah menjadi daratan.

Dampak lainnya, menurut Kabid Kebudayaan Diparda Kab. Ciamis, Drs.
Owoy Ruswanda, kegiatan wisata yang tidak terkelola dengan baik juga
menimbulkan kemerosotan mutu air Situ Lengkong. Selain luas situ yang
makin sempit, tingkat pencemaran airnya makin tinggi. Airnya tidak
bening lagi karena di perairan tersebut beroperasi sekira 20 motor
tempel yang menggunakan bahan bakar solar.

Karena kegiatan wisata itu tumbuh secara alami tanpa rencana dan
sentuhan manajemen terpadu berbagai aspek, berakibat kurang memberi
manfaat ekonomi secara langsung. Karena itu, dalam Pelatihan Juru
Pelihara dan Kuncen Se-Jawa Barat yang baru pertama kali diadakan
Disbudpar Jabar akhir bulan November lalu, Kadisbudpar Jabar Drs. H.I.
Budhyana, M.Si., menawarkan beberapa skenario untuk menata kawasan
tersebut.

Situ Lengkong dan Nusa Gede merupakan objek wisata budaya dan wisata
alami. Para pengunjungnya berasal dari berbagai daerah. Berdasarkan
angket yang secara rutin disebar, pada tahun 2003 kunjungan yang
berasal dari Jabar mencapai 63 persen, Jateng 13 persen, dan Jatim
sebanyak 23 persen, serta dari daerah lainnya satu persen.

Di kalangan warga adat Panjalu atau keturunanannya, Situ Lengkong
berdasarkan kisah-kisah lisan yang beredar selama ini tidaklah dengan
sendirinya terbentuk. Situ tersebut terbentuk sebagai bagian dari
proses pengislaman yang dirintis Prabu Borosngora, anak kedua dari
Prabu Sanghyang Tjakradewa.

Berdasarkan Babad Panjalu, Prabu Borosngora disebut sebagai buyut
Sanghyang Ratu Permanadewi, Ratu Kerajaan Soko Galuh yang membawa
ajaran karahayuan (kemakmuran). Karena dipimpin seorang wanita,
kerajaan tersebut dinamakan Kerajaan Panjalu. Dalam bahasa Sunda,
berarti laki-laki.

Kerajaan Panjalu pernah kuat dan besar. Namun sayang, dalam perjalanan
selanjutnya, kerajaan tersebut pernah masuk menjadi bagian Kesultanan
Cirebon sampai akhirnya menjadi kabupaten. Wilayahnya kemudian
digabung dengan Kabupaten Imbanagara dan Kawali sehingga menjadi
Kabupaten Ciamis sekarang.

Selain merupakan objek wisata, sebagai bekas kerajaan, Panjalu
sebenarnya masih memiliki daya tarik lainnya berupa upacara nyangku.
Upacara itu setiap tahun diselenggarakan pada hari Senin atau Kamis
terakhir bulan Maulud.

Nyangku yang berasal dari bahasa Arab yanko artinya sama dengan
membersihkan. Dalam upacara tersebut, pedang hadiah dari Sayidina Ali
dan barang pusaka lainnya seperti cis, keris, dan tombak dikeluarkan
dari tempat penyimpanannya di Bumi Alit untuk dibersihkan.

Prosesi upacaranya dilanjutkan dengan membawa barang-barang pusaka
tersebut ke Nusalarang, lalu kembali ke balai desa untuk dibersihkan.
Menjelang tengah hari, barang-barang pusaka itu disimpan kembali ke
tempat asalnya.

Bagi masyarakat Panjalu, nyangku memiliki makna yang lebih luas. Dan
sesuai dengan ajaran leluhur mereka, setiap langkah dalam upacara
tersebut memiliki makna tersendiri yang bertujuan meningkatkan
kebahagiaan lahir-batin keturunan Panjalu.

Kepada anak-cucunya, Raja Panjalu mewariskan papagon atau ajaran yang
antara lain berbunyi; "Pakena gawe rahayu dan pakena kreta bener" dan
"mangan karna halal, pake karna suci, ucap lampah sabenere,". "Hingga
kini ajaran tersebut selalu dipegang teguh oleh mereka yang merasa
sebagai keturunan Panjalu meskipun sudah menetap jauh di luar
Panjalu," ujar Bah Atong, yang merupakan keturunan ke-14 Prabu
Borosngora.(Retno HY/PR)***
Baca:
Situ Lengkong jaman belanda.
Nusa Gede di tengah situ Panjalu. 
Kelestarian situ Koorders Panjalu.
Tempat-tempat ziarah di Panjalu.
Upacara Nyangku.