Kelestraian Situ "Koorders Panjalu
Lambang Kecintaan pada Lingkungan
Situ Lengkong dari satelit |
SEANDAINYA Prabu Sanghiang Borosgora atau Prabu Hariang Kancana saat ini masih hidup, bisa jadi akan tersenyum bangga jika melihat keadaan hutan dan Danau Panjalu terjaga kelestariannya. Terlebih lagi jika sudah dibangun mesjid raya dengan rencana biaya miliaran rupiah.
Presiden RI Gus Dur beberapa waktu lalu mengadakan haol di
Panjalu. Bahkan sekaligus mengaku keturunan Panjalu. " Sebelum menjadi
presiden, Gus Dur sudah beberapa kali berziarah ke Nusa gede," ujar Rd. H.
Atong Cakradinata salah seorang sesepuh di Panjalu.
Sosok Situ Lengkong kini bukan lagi hanya sosok wisata alam
berupa danau dengan nuansa lingkungan yang masih utuh. Namun juga menjadi
tujuan ziarah ke makam Prabu Sanghiang Borosgora yang ada ditengah Nusa Gede
atau Nusa Panjalu. Lebih dari itu telah menjadi lahan kehidupan sejumlah warga,
dengan membuka kedai ikan bakar dan jenis makanan lainnya, penjual buku sejarah
Panjalu termasuk penjaja cindera mata, meski diantaranya mereka bukan asli
warga Panjalu.
Sedangkan makanan khas Panjalu buta ole-ole adalah
"Kalua Jeruk" yang terbuat dari kulit jeruk, atau wajit Panjalu.
Kelestarian Situ Panjalu atau Situ Lengkong adalah pencerminan kecintaan warga
setempat pada lingkungan yang diwariskan turun temurun melalui isyarat bahasa
tabu. Sebab, ragam tumbuhan yang ada di Nusa Gede sampai saat tetap tumbuh
subur dan terpelihara alami karena tidak ada yang berani mengganggu.
Karena air Situ Lengkong tidak pernah kering meski terjadi
kemarau panjang. Kawasan Nusa Gede menjadi habitat bagi kalong serta satwa
lainnya dengan tingkat populasi yang terus bertambah. Suara kalong yang
bersahutan dengan nyayian burung lainnya menjelang senja, atau di pagi hari
seolah menjadi pelengkap daya tarik tersendiri.
Para pengunjung setiap hari selalu saja ada apalagi pada
hari minggu atau liburan lainnya. Terlebih jika bulan Maulud, karena para
peziarah bukan hanya berasal dari Jawa Barat. Namun juga dari daerah Jateng dan
Jatim. Mereka datang menggunakan bus carteran. Perjalanan mereka merupakan satu
paket setelah berziarah ke Gunungjati, Cirebon, Banten, dan Pamijahan,
Tasikmalaya atau sebaliknya.
Jika akan berpesiar mengintari Situ Lengkong selama satu
jam, bisa memanfaatkan sejumlah sampan yang digerakkan dayung atau motor
tempel. Riak gelombang kecil yang berlarian di kiri kanan perahu selama dalam
perjalanan menjadi pelengkap pesona yang mengagumkan. Situ Lengkong mampu pula
melahirkan atlet pedayung putri yang berprestasi di tingkat regional dan
nasional. "Misalnya Etin Djubaedah, Hermin, Iros dan sejumlah pedayung
yunior putri lainnya merupakan hasil berlatih di Situ Lengkong," ujar
Letkol (purn) H. Muztahidin- wakil ketua KONI Ciamis.
Sikap Paheuyeuk leungeun untuk meningkatkan taraf hidup
menjadi karakteristik warga Panjalu. Para perantau asal Panjalu bergerak di
sektor wirausaha di Bandung, Jakarta dan kota besar lainnya. Kabag Pemdes Setda
Ciamis, Drs. R. Hery Moelyana yang bibit buit Panjalu menyebutkan, umumnya para
perantau asal Panjalu berhasil mengubah kehidupan dari sebelumnya.
Perantau awal biasa tinggal bersama saudara atau tetangga
yang sudah lebih dahulu merantau. Setelah diangap cukup pengalaman kemudian di
lepas untuk mandiri, malah di antaranya berikut diberi modal pertama sebagai
hasil simpanan. Kontribusi pada pembangunan di desa asalnya sangat besar.
"Mesjid agung di desa Hujungtiwu, Sukamantri dan beberapa desa lainnya
bernilai ratusan juta rupiah, kesemuanya dibangun warga dengan swadaya,"
ujar R. Hery Moelyana bangga.
Pulau "Koorders"
Dari luas areal Nusa Gede atau Nusa Panjalu, diantaranya
sekitar 16 hektar merupakan kawasan cagar alam yang ditetapkan sejak tanggal
21-2-1919. Bahkan tanggal 16 November 1921 diberi nama "Pulau
Koorders", penghormatan kepada "Koorders", sebagai pendiri dan
ketua pertama perkumpulan perlindungan alam. Ia sendiri semasa masih hidup
kerap berkunjung ke Panjalu. Menurut keterangan dari Balai Konservasi Sumber
daya Alam (BKSDA) Jabar-II di Ciamis, Dr. Koorders adalah pendiri dan ketua
pertama Nederlands Indische Vereeniging tot Naturbescherming (Perkumpulan Perlindungan
Alam Hindia Belanda) tahun 1863-1991. Dia sebagai houtvester yang menaruh
perhatian besar kepada botani. Tahun 1888 sampai tahun 1903 ia menomori
pohon-pohon yang tersebar di seluruh pulau Jawa.
"Koorders" mengumpulkan bahan herbarium untuk
menetapkan secara ilmiah komposisi dari hutan tropika. Penelitian itu dilakukan
kerjasama dengan Th.Valeton, ahli botani. Hingga lahir karya besarnya yakni
Bijdragen tot de kennis der boomsoorten van java (Sumbangan pengetahuan
pohon-pohon dari Jawa).
Tanggal 31 Maret tahun itu juga, perkumpulan mengajukan
permohonan kepada pemerintah, agar beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau,
Kawah Papandayan, Semenanjung Ujung Kulon di Jabar dengan Prinseneiland (Pulau
Panaitan). Laut Pasir Bromo di Jatim, Pulau Nusa Burung di Semenanjung Purwo
(Blambangan) ujung Timur Pulau Jawa, Kawah Ijen di dataran Ijen untuk
dipertahankan sebagai cagar alam.
Menurut klasifikasi iklim Scmidt Ferguson, kawasan cagar
alam Panjalu termasuk type B dengan curah hujan rata-rata 3.195 mm pertahun
dengan suhu rata-rata 19-32 derajat celcius, vegetasi di situ sebagian besar
hutan prime yang utuh. Tumbuhan yang ada terdiri "Kihaji" (Dysoxylum
sp), "Kileho" (Sauraula Sp) "Kondang" (ficus variegata).
Tumbuhan di bagian bawah adalah rotan (Calamus Sp), tepus
(Zingiberaceae) dan langkap (Arenga). Kalong (Pteropus vampyrus) merupakan
fauna yang paling banyak dijumpai di sana, tupai (Calosciurus nigrittatus) dan
burung hantu (Otus Scops).
Sumber: Koran Pikiran Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar