Nyangku 2011

Kamis, 10 Agustus 2017

Perkawinan Seni Tradisi di Pulau Koorders


KOMPAS/ DEDI MUHTADI
Warga Sukamantri di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menggelar seni tradisional bebegig pada puncak acara tradisional Nyangku di Desa Panjalu, Ciamis, Senin, 26 Desember 2016. Seni tradisional bebegig merupakan seni tradisi yang bersumberkan pada kearifan lokal yang telah dilestarikan selama ratusan tahun untuk menjaga sumber mata air.



Perkawinan Seni Tradisi di Pulau Koorders


Masyarakat Panjalu di kaki Gunung Sawal, Ciamis, Jawa Barat, sudah berpuluh tahun melestarikan upacara tradisional Nyangku yang maknanya membersihkan diri dan menerangi ( nyaangan) kehidupan. Seiring bergulirnya zaman, ritual itu meneguhkan perkawinan beragam seni budaya.
Pada ritual Nyangku tahun 1438 H yang digelar Senin, 26 Desember 2016 lalu, tiga seni utama menjadi pembuka yakni buta kararas tilas, bebegig, dan wayang landung Panjalu. Namun, festival budaya yang berlangsung sejak 22 Desember itu menampilkan pula tradisi samida, genta kahuripan, dan seni tradisional Sunda lainnya. Selain itu, digelar pula tradisi bernuansa agama, seperti Mauludan Pemerintah Desa Panjalu, seni-seni religi, debus, dan memuncak pada ritual Nyangku. Nyangku, yang diisi dengan ritual sakral mencuci benda-benda pusaka, tetap jadi nomor satu. Sementara aneka seni bu- daya lainnya jadi pendukung meski akhirnya pergelaran itu menjadi perkawinan aneka seni tradisi Sunda pada khususnya, dan Nusantara pada umumnya. 
Puncak ritual adat Nyangku biasa dilakukan hari Senin atau Kamis di akhir bulan Mulud Tahun Hijriah. ”Festival tahun ini agak inovatif. Tak hanya upacara sakral Nyangku, tapi seni-seni di seantero Ciamis sedapat mungkin ditampilkan. Malah tahun lalu seni rakyat Lampung ditampilkan di Panjalu,” ujar Ketua Panitia Nyangku 2016 Asep Rahmat ditemui di Panjalu. Prosesi ritual adat itu dihadiri ribuan orang sehingga berkembang menjadi pesta rakyat yang menumbuhkan perekonomian lokal. Ratusan pedagang setempat dan pedagang musiman memanfaatkan pesta rakyat untuk mengais rezeki. ”Ritual ini memberikan manfaat bagi perekonomian setempat. Begitu pula bagi Situ Lengkong yang merupakan obyek wisata minat khusus ziarah,” ujar Bupati Ciamis Iing Syam Arifin. Pemangku Adat Panjalu, R Hendar R Cakradinata, menambahkan, tradisi Nyangku dalam bahasa Sunda adalah nyaangan atau menerangi kehidupan dengan melihat sejarah dan memperbaiki perilaku ke depan. Tujuannya agar kehidupan lebih baik lagi mulai dari ekonomi, sosial budaya, hingga tata lingkungan.

Pulau Koorders
Panjalu merupakan sebuah desa sekaligus ibu kota Kecamatan Panjalu, berlokasi sekitar 35 kilometer utara Ciamis. Kecamatan ini terletak di kaki Gunung Sawal yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Bandung. Warga Panjalu, selain masyarakat agraris, juga dikenal sebagai warga yang kreatif dan ulet. Banyak di antara mereka bergerak di bidang perdagangan (terutama besi) yang memenuhi sentra-sentra kerajinan logam di Bandung. Menurut cerita rakyat yang dibukukan Djadja Sukardja (2001), Panjalu adalah bekas Kerajaan Sunda yang diperintah secara turun-temurun oleh raja keturunan Raja Galuh sekitar abad ke-8 Masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke-15). Masyarakat di desa itu menyimpan berbagai cerita dan peninggalan leluhur yang terus dipertahankan. Tradisi Nyangku merupakan kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan. Salah satunya dengan menjaga air Situ Lengkong, danau seluas 67 hektar yang diyakini bekas keraton Kerajaan Panjalu. Di tengah danau terdapat sebuah pulau atau Nusa Gede seluas 16 hektar yang juga disebut Pulau Koorders. 
Dalam ritual setempat, ada tradisi mengambil air dari tujuh sumber mata air untuk membersihkan benda-benda pusaka. Makna dari tradisi ini adalah warga Panjalu wajib menjaga sumber-sumber air itu karena mata air adalah penyangga kehidupan. Salah satu mata air itu adalah Situ Lengkong. ”Kawasan konservasi ini juga mempunyai nilai historis tinggi karena diabadikan dengan nama seseorang yang dianggap berjasa oleh Pemerintahan Hindia Belanda, yakni Dr Koorders,” tulis Pandji Yudistira Kusumasumantri, Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Ciamis-Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Sijfret Hendrik Koorders merupakan perintis dan pelopor perlindungan alam. Ia membidani lahirnya Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda pada 22 Juli 1912. Sebagai penghormatan atas jasanya, pada tahun 1921 Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama Monumen Alam (MA) Pulau Nusa Gede di Danau Panjalu (Situ Lengkong sekarang) menjadi Pulau Koorders dan MA Koorders. Selama 98 tahun (1919-2017), untungnya kelestarian Cagar Alam Pulau Koorders itu masih terpelihara dengan baik.

Menjaga mata air
Pemerhati budaya Sunda, yang juga Wakil Rektor I Institut Agama Islam Latifah Mubaroqiyah, Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Asep Salahudin, menjelaskan, dalam tradisi masyarakat Situ Lengkong perpaduan mistik Sunda dan Islam sangat kental. Beragam seni tradisi yang ditampilkan pun berbasis kearifan lokal, terutama terkait kelestarian lingkungan. Misalnya, seni bebegig dari Sukamantri, kecamatan pemekaran dari Panjalu. Sukamantri yang terletak di kaki Gunung Madati pada ketinggian 1.059-1.200 meter di atas permukaan laut kebetulan juga merupakan sumber air bagi wilayah di bawahnya. Leluhur Sukamantri, yakni Prabu Sampulur, penguasa wilayah itu ratusan tahun lalu, khawatir sumber air itu diganggu. Lalu, ia membuat bebegig, topeng serupa makhluk menyeramkan. Topeng-topeng kulit kayu itu dipasang di pohon-pohon besar di sekitar sumber air utama, Karang Gantungan. Konon, karena kesaktian Sang Prabu, orang yang berniat jahat melihat topeng itu bagaikan makhluk menyeramkan. Hingga kini, warga Sukamantri pun terus memelihara kearifan lokal itu. Demikian juga seni serumpunnya, yakni buta (makhluk raksasa) kararas (daun pisang kering), dan wayang landung Panjalu. Kedua seni ini memanfaatkan dedaunan dan kayu-kayuan yang tidak terpakai. Malah pada seni buta kararas ada tanaman tertentu yang harus ditanam bila sudah dipakai. Tanaman seperti singkong itu kemudian dapat ditanam melalui potongan batangnya. ”Dengan dijadikan properti seni, kami berharap generasi muda melestarikan tanaman ini karena daun dan bunganya dibutuhkan,” ungkap tokoh budaya Panjalu, Mang Ganda (60).

Sumber https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170211/282046211844607

Tidak ada komentar:

Posting Komentar