Nyangku 2011

Rabu, 31 Desember 2014

Ciamis , Tasik, Panjalu dan Sekitarnya Tempoe Doeloe




Panjalu tahun 1925-1933
Tampak 3 orang gadis sedang membawa (nyuhun) kele dengan kepalanya. Kele adalah  alat untuk membawa air dari bambu gelondongan. Kele ini masih digunakan ketika upacara Nyangku untuk membawa air untuk membersihkan pusaka. Dari upacara Nyangku ini Teh Neneng Peking mendapat inspirasi untuk membuat tarian "Bambu Suhun" sebagai tari khas Ciamis.

Situ Lengkong tahun 1910.
Sebuah rakit sedang berlayar di tengah situ Lengkong. Situ Lengkong menjadi cagar alam sejak tahun 1919



Panawangan Ciamis 1930
Kampung Cibali Ciamis 1929
Medang Lawang Panumbangan 1930
Danau kawah Ganunggung tahun 1920
Pemandangan sawah di kaki gunung Galunggung tahun 1910
Mesjid agung Tasikmalaya Juli 1902

Di bawah ini foto proyek pembangunan jalur kereta Ciamis-Banjar-Cijulang



Jembatan Cirahong
Jembatan Cirahong

Jembatan Cirahong



Jumat, 12 Desember 2014

Kelestraian Situ "Koorders" Panjalu

Kelestraian Situ "Koorders Panjalu
Lambang Kecintaan pada Lingkungan

Situ Lengkong dari satelit

SEANDAINYA Prabu Sanghiang Borosgora atau Prabu Hariang Kancana saat ini masih hidup, bisa jadi akan tersenyum bangga jika melihat keadaan hutan dan Danau Panjalu terjaga kelestariannya. Terlebih lagi jika sudah dibangun mesjid raya dengan rencana biaya miliaran rupiah.
Presiden RI Gus Dur beberapa waktu lalu mengadakan haol di Panjalu. Bahkan sekaligus mengaku keturunan Panjalu. " Sebelum menjadi presiden, Gus Dur sudah beberapa kali berziarah ke Nusa gede," ujar Rd. H. Atong Cakradinata salah seorang sesepuh di Panjalu.

Sosok Situ Lengkong kini bukan lagi hanya sosok wisata alam berupa danau dengan nuansa lingkungan yang masih utuh. Namun juga menjadi tujuan ziarah ke makam Prabu Sanghiang Borosgora yang ada ditengah Nusa Gede atau Nusa Panjalu. Lebih dari itu telah menjadi lahan kehidupan sejumlah warga, dengan membuka kedai ikan bakar dan jenis makanan lainnya, penjual buku sejarah Panjalu termasuk penjaja cindera mata, meski diantaranya mereka bukan asli warga Panjalu.

Sedangkan makanan khas Panjalu buta ole-ole adalah "Kalua Jeruk" yang terbuat dari kulit jeruk, atau wajit Panjalu. Kelestarian Situ Panjalu atau Situ Lengkong adalah pencerminan kecintaan warga setempat pada lingkungan yang diwariskan turun temurun melalui isyarat bahasa tabu. Sebab, ragam tumbuhan yang ada di Nusa Gede sampai saat tetap tumbuh subur dan terpelihara alami karena tidak ada yang berani mengganggu.

Karena air Situ Lengkong tidak pernah kering meski terjadi kemarau panjang. Kawasan Nusa Gede menjadi habitat bagi kalong serta satwa lainnya dengan tingkat populasi yang terus bertambah. Suara kalong yang bersahutan dengan nyayian burung lainnya menjelang senja, atau di pagi hari seolah menjadi pelengkap daya tarik tersendiri.

Para pengunjung setiap hari selalu saja ada apalagi pada hari minggu atau liburan lainnya. Terlebih jika bulan Maulud, karena para peziarah bukan hanya berasal dari Jawa Barat. Namun juga dari daerah Jateng dan Jatim. Mereka datang menggunakan bus carteran. Perjalanan mereka merupakan satu paket setelah berziarah ke Gunungjati, Cirebon, Banten, dan Pamijahan, Tasikmalaya atau sebaliknya.

Jika akan berpesiar mengintari Situ Lengkong selama satu jam, bisa memanfaatkan sejumlah sampan yang digerakkan dayung atau motor tempel. Riak gelombang kecil yang berlarian di kiri kanan perahu selama dalam perjalanan menjadi pelengkap pesona yang mengagumkan. Situ Lengkong mampu pula melahirkan atlet pedayung putri yang berprestasi di tingkat regional dan nasional. "Misalnya Etin Djubaedah, Hermin, Iros dan sejumlah pedayung yunior putri lainnya merupakan hasil berlatih di Situ Lengkong," ujar Letkol (purn) H. Muztahidin- wakil ketua KONI Ciamis.
Sikap Paheuyeuk leungeun untuk meningkatkan taraf hidup menjadi karakteristik warga Panjalu. Para perantau asal Panjalu bergerak di sektor wirausaha di Bandung, Jakarta dan kota besar lainnya. Kabag Pemdes Setda Ciamis, Drs. R. Hery Moelyana yang bibit buit Panjalu menyebutkan, umumnya para perantau asal Panjalu berhasil mengubah kehidupan dari sebelumnya.

Perantau awal biasa tinggal bersama saudara atau tetangga yang sudah lebih dahulu merantau. Setelah diangap cukup pengalaman kemudian di lepas untuk mandiri, malah di antaranya berikut diberi modal pertama sebagai hasil simpanan. Kontribusi pada pembangunan di desa asalnya sangat besar. "Mesjid agung di desa Hujungtiwu, Sukamantri dan beberapa desa lainnya bernilai ratusan juta rupiah, kesemuanya dibangun warga dengan swadaya," ujar R. Hery Moelyana bangga.

Pulau "Koorders"

Papan keterangan di gerbang masuk ke pulau "Koorders"

Dari luas areal Nusa Gede atau Nusa Panjalu, diantaranya sekitar 16 hektar merupakan kawasan cagar alam yang ditetapkan sejak tanggal 21-2-1919. Bahkan tanggal 16 November 1921 diberi nama "Pulau Koorders", penghormatan kepada "Koorders", sebagai pendiri dan ketua pertama perkumpulan perlindungan alam. Ia sendiri semasa masih hidup kerap berkunjung ke Panjalu. Menurut keterangan dari Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) Jabar-II di Ciamis, Dr. Koorders adalah pendiri dan ketua pertama Nederlands Indische Vereeniging tot Naturbescherming (Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda) tahun 1863-1991. Dia sebagai houtvester yang menaruh perhatian besar kepada botani. Tahun 1888 sampai tahun 1903 ia menomori pohon-pohon yang tersebar di seluruh pulau Jawa.

"Koorders" mengumpulkan bahan herbarium untuk menetapkan secara ilmiah komposisi dari hutan tropika. Penelitian itu dilakukan kerjasama dengan Th.Valeton, ahli botani. Hingga lahir karya besarnya yakni Bijdragen tot de kennis der boomsoorten van java (Sumbangan pengetahuan pohon-pohon dari Jawa).

Tanggal 31 Maret tahun itu juga, perkumpulan mengajukan permohonan kepada pemerintah, agar beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau, Kawah Papandayan, Semenanjung Ujung Kulon di Jabar dengan Prinseneiland (Pulau Panaitan). Laut Pasir Bromo di Jatim, Pulau Nusa Burung di Semenanjung Purwo (Blambangan) ujung Timur Pulau Jawa, Kawah Ijen di dataran Ijen untuk dipertahankan sebagai cagar alam.

Menurut klasifikasi iklim Scmidt Ferguson, kawasan cagar alam Panjalu termasuk type B dengan curah hujan rata-rata 3.195 mm pertahun dengan suhu rata-rata 19-32 derajat celcius, vegetasi di situ sebagian besar hutan prime yang utuh. Tumbuhan yang ada terdiri "Kihaji" (Dysoxylum sp), "Kileho" (Sauraula Sp) "Kondang" (ficus variegata).

Tumbuhan di bagian bawah adalah rotan (Calamus Sp), tepus (Zingiberaceae) dan langkap (Arenga). Kalong (Pteropus vampyrus) merupakan fauna yang paling banyak dijumpai di sana, tupai (Calosciurus nigrittatus) dan burung hantu (Otus Scops).


Sumber: Koran Pikiran Rakyat

Selasa, 07 Oktober 2014

Nyangku 2007

Nyangku 2007 dilaksanakan pada tanggal 16 April 2007
Berikut beberapa cuplikan gambarnya



Rombongan pembawa pusaka sedang berangkat menuju Nusa Gede

Group Gembyung menyambut kedatangan rombongan di Nusa Gede. 

Masyarakat sudah menunggu kedantangan rombongan pembawa pusaka di lapangan alun-alun (taman Borosngora)


Para tamu dari rombongan Jajaka dan Mojang Ciamis berpose dengan Dede Yusuf

Edies Adela, Ica Afi, Riki Hermawan, Rico Garendra dll ikut meramaikan acara

Rombongan Artis , Dede Yusuf dan perwakilan dari keraton Cirebon tampak hadir 

Baca:

Selasa, 02 September 2014

Tempat-tempat ziarah di Panjalu

TEMPAT-TEMPAT ZIARAH DI PANJALU;

  1. Pasir Jambu / Nusa Gede situ lengkong Panjalu (pemakaman dan bekas kerajaan pada masa Prabu sanghyang Borosngora).
  2. Museum Bumi Alit Panjalu (tempat penyimpanan benda-benda pusaka perabot soko Galuh peninggalan leluhur Panjalu).
  3. Kapunduhan,Kertamandala Panjalu (pemakaman).
  4. Citatah,Dayeuhluhur (bekas kerajaan panjalu prabu sanghyang Cakradewa ayah dari Prabu Borosngora).
  5. Kubang Kelong,Sindangwangi Panjalu (pemakaman)
  6. Puspaligar,Ciater Panjalu (pemakaman).
  7. Pasarean Maparah Panjalu (pemakaman).
  8. Cilanglung Simpar Panjalu (pemakaman).
  9. Buninagara Simpar Panjalu (pemakaman)
  10. Hujungwinangun Sriwinangun Panjalu (pemakaman)
  11. Sareupeun,Hujungtiwu Panjalu (pemakaman).
  12. Ciramping Panjalu (pemakaman).
  13. Cipanjalu (pemakaman dan tujuh sumur sumber mata air).
  14. Panghulugusti,Ciomas Panjalu (pemakaman)
  15. Kulah Pangbuangan Garahang Panjalu (pemakaman).
  16. Nagasari,Hanjatan Ciomas Panjalu (bekas museum bumi alit).
  17. Kampuh jaya,Cilimus Panumbangan (pemakaman).
  18. Sukatingal (pemakaman).
  19. Munjul,Paricariang Panjalu (pemakaman).
  20. Gontot,Paricariang Panjalu (pemakaman).
  21. Pasir Cempaka,Paricariang Panjalu (pemakaman).
  22. Pasir Bangbara,Paricariang Panjalu (pemakaman).
  23. Situ Ciater Panjalu.
  24. Cibengan,Garahang Panjalu (pemakaman).
  25. Ranca Beureum / Pamulihan (pemakaman)
  26. Ciranca,Bunisakti,Maparah Panjalu (pemakaman).
  27. Sindangbarang,Panumbangan (pemakaman).
  28. Rancagaul,Tengger Panjalu (pemakaman).
  29. Citatah,Sandingtaman Panjalu (pemakaman).
  30. Cikabuyutan,Maparah Panjalu (pemakaman).
  31. Jakabaya,Bunusakti Maparah Panjalu (pemakaman).

Selasa, 01 Juli 2014

Nyangku 2006

Nyangku 2006 dilaksanakan pada tanggal 24 April 2006

Berikut cuplikan gambarnya

Bpk R H Atong Cakradina bersama pejabat dan tokoh masyarakat berjalan di depan rombongan pembawa pusaka.



Rombongan sedang memasuki komplek makam di Nusa Gede

Prosesi pencucian benda pusaka sedang berlangsung

Pertunjukan Debus dari Desa Bahara sedang berlangsung untuk menghibur masyarakat.

Baca:


Rabu, 05 Maret 2014

Nyangku 2002

Nyangku 2002

Para pengawal siap mengawal iring-iringan rombongan pembawa pusaka

Pusaka sudah dikeluarkan dari ruang penyimpanan untuk dibawa  (kanan: R.A Purnawan Cakradinata (alm), kiri: H. Uce)

Barisan ibu-ibu pembawa air dengan bambu untuk prosesi pencucian


Siap-siap menyebrang ke Nusa gede

Dengan menaiki tangga rombongan menuju komplek pemakaman di Nusa Gede. Tampak Bpk Solihin (mantan Gubernur Jabar) ikut rombongan.

Setelah memanjatkan do'a untuk para leluhur, rombongan kembali lagi.

Panggung bambu tempat pencucian



Beberapa pusaka sedang dalam proses pembungkusan setelah dicuci.

Baca:

Sabtu, 01 Februari 2014

Nyangku 2014


Upacara Nyangku tahun 2014 dilaksanakan pada :

Hari : Senin
Tanggal : 27 Januari 2014/ 25 Rabbiul Awwal 1435 H
Waktu : Jam 07.00 s/d selesai
Tempat : Taman Borosngora, Panjalu, Ciamis, Jawa Barat








Kamis, 16 Januari 2014

Upacara Nyangku

Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di
Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara
Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah
menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.

Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang
Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media
Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya.
Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan (penyucian) bendabenda
pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu penerusnya
yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit.

Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "yanko" yang artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda sehingga entah sejak kapan kata yanko berubah menjadi nyangku.Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal).

Dalam rangka mempersiapkan bahan bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada zaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku. Disamping itu, semua warga keturunan Panjalu melakukan ziarah ke makam Rajaraja Panjalu dan bupati bupati penerusnya terutama makam Prabu
Rahyang Kancana di Nusa Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit
atau beberapa petugas yang ditunjuk panitia pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air
suci untuk membersihkan bendabenda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air, yaitu:

1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
8. Sumber air gunung bitung
9. sumber air ciomas

Bahan bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam
sesaji termasuk umbi-umbian yaitu:
1. Tumpeng nasi kuning
2. Tumpeng nasi merah
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbiumbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang

Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk
mengiringi jalannya upacara.Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah
acara Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para
sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai pelosok sehingga
suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya di alun-alun Panjalu juga
diselenggarakan pasar malam yang semarak.

Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan
menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian
dan shalawat Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain
putih mulai disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi dengan
irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi.

Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan pembawa benda-benda
pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Di sana dipanjatkan doa untuk  Prabu Sanghyang Borosngora dan penerusnya yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.

Pusaka-pusaka kemudian diarak lagi menuju tempat pencucian Dulu sebelum ada taman boros ngora tempat pencucian biasanya di depan kantor balai Desa, tetapi setelah ada taman Borosngora, tempat pencucian dilakukan dipanggung yang berbuat dari bambu di tengah lapangan alun-alun taman Borosngora.

Sebelum dicuci, benda-benda pusaka itu kemudian diletakan di atas alas kasur yang khusus disediakan untuk upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka dari kain putih
pembungkusnya.Setelah itu benda-benda
pusaka dibawa dengan ditutupi kain ke panggung dari bambu tempat pencucian dan dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka yang lain.

Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit.

Baca: