|
Pintu gerbang ke Makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan |
Bagi orang yang tinggal di Tasikmalaya, nama Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai wali atau penyebar agama Islam di tatar Pasundan bagian selatan.
Para turis yang berwisata religi, makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan Tasikmalaya merupakan tempat favorit untuk dikunjungi selain makam Hariang Kencana yang berada di Nusa Gede Situ Lengkong Panjalu Ciamis.
Di sini penulis akan memaparkan sejarah terkait Syekh Abdul Muhyi yang bersumber dari sebuah makalah ilmiah sehingga lebih jelas sandarannya. Karena cerita dan sejarah mengenai Syekh Abdul Muhyi ini kerap kali dikaitkan dengan cerita-cerita yang bersifat mistis dan kebatinan.
Kalau kita tinjau sejarah Syekh Abdul Muhyi ini erat kaitannya dengan berdirinya Sukapura (sekarang Tasikmalaya), apalagi salah seorang keturunan bupati Sukapura (Wiradadaha IV) merupakan anak asuh dari Syekh Abdul Muhyi ini.
Latar Belakang
Dari perjalanan sejarah yang panjang, Jawa Barat merupakan
provinsi yang berbasis islam sangat kuat. Semua ini di pengaruhi karena
hadirnya walisongo yang menyebarkan agama islam di pulau Jawa yang sangat
berpengaruh.
Selain juga yang di kenal sebagai Wali Songo di Sukapura
juga ada Wali yang berpengaruh dalam penyebaran agama islam di Pulau Jawa,
Khususnya di Jawa Barat. Wali tersebut yaitu Syeh Abdul Muhyi, yang sangat di
kenal sampai saat ini. Beliau di kenal sebagai penyebar agama islam di
Sukapura, yang kini di kenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya.
Sejarah Berdirinya Sukapura
Sebelum ibu kota Sukapura berkedudukan di Tasikmalaya, kota
ini merupakan sebuah afdeeling (perkebunan) yang di perintah oleh seorang patih
lurah. Waktu itu namanya Tawang atau Galunggung. Sering juga penyebutannya di
satukan menjadi Tawang-Galunggung. Tawang sama dengan sawah artinya tempat yang
luas terbuka, dalam bahasa Sunda berarti papalagon.
Sukakerta adalah sebuah umbul yang di perintah Umbul
Wirawangsa. Pada waktu itu, umbul tersebut termasuk Kabupaten Sumedang.
Sukakerta terletak di sebelah utara gunung Madang, tapi menurut topografi,
seharusnya Sukakerta itu terletak di sebelah Timur Sukaraja.
Menurut buku Pangeling-ngeling 300 Taun Ngadegna Kabupaten
Sukapura, bahwa Sareupeun Cibuniang berputra Entol Wiraha yang menikah dengan
Nyai Punyai Agung, seorang pewaris dari Negara Sukakerta. Karena perkawinan
tersebut, Entol Wiraha di angkat menjadi umbul di Sukakerta, dari perkawinan
itu di anugrahi putra, Wirawangsa, yang menggantikan kedudukan menjadi umbul di
Sukakerta sampai pecah pemberontakan Dipati Ukur. Pada saat Wirawangsa menjadi
umbul di Sukakerta daerah Priangan di pegang oleh Dipati Ukur Wangsanata. Pada
tahun 1628 Dipati Ukur mendapatkan perintah dari Sultan Agung untuk menyerang
Batavia bersama-sama tentara Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Bahurekso.
Dipati Ukur membawa 9 umbul diantaranya umbul dari Sukakerta, yaitu Wirawangsa.
Padawaktu itu Dipati Ukur gagal dalam penyerangan, ia bersama tentaranya
mengundurkan diri ke Gunung Pongporang yang terletak di Bandung Utara dekat
gunung Bukittunggul. Tindakan ini oleh Mataram dianggap sebagai pemberontakan,
dan Dipati Ukur di kejar-kejar oleh Mataram.
Pemberontakan Dipati Ukur sangat membahayakan Sultan Agung
di Mataram. Sebab Dipati Ukur berlindung di antara Banten dan Batavia yang tak
lain merupakan musuh Mataram. Karena tindakan itu Sultan Agung memerintahkan
untuk menangkap Dipati Ukur hidup ataupun mati dengan perjanjian siapapun yang
bisa menangkap Dipati Ukur akan mendapatkan anugrah. Akhirnya Dipati Ukur
tertangkap di selatan Jakarta yang sekarang bernama Cengkareng, Dipati Ukur
diserahkan ke Mataram dan di hukum mati.
Diantara yang ikut menagkap Dipati Ukur adalah Umbul
Sukakerta, Umbul Cihaurbeuti dan Umbul Sindangkasih, ketiga umbul ini tidak
hanya berhasil menagkap Dipati Ukur tetapi juga menangkap 8 umbul lain yang
setia kepada Dipati Ukur. Sebagai anugerahnya mereka diangkat menjadi mantri
agung di daerahnya masing-masing, sebagaimana tertulis dalam Piagam Sultan
Agung hing dina saptu tanggal ping sanga wulan Muharam tahun Alip, yaitu Ki
Wirawangsa menjadi mantri agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, ki
Astamanggala yang merupakan Umbul Cihaur Beuti menjadi mantri agung Bandung
dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, Ki Somahita umbul Sindangkasih menjadi
mantri agung Parakan Muncang dengan gelar Tumenggung Tanu Baya.
Piagam Sultan agung tertanggal 9 Muharam tahun Alip itu
dapat di anggap sebagai permulaan didirikannya Sukapura. Pengertian Sukapura
adalah suka artinya asal dan pura artinya kraton ada juga yang mengartikan suka
atrinya tiang dan pura artinya kraton. Jadi, Sukapura artinya jejernya kraton,
karena di tempat ini berdirinya bupati Sukapura pertama. Jumlah daerah yang
berada di bawah kabupaten Sukapura ada 12 cutak, yaitu sebagai berikut :
1. Cutak
Sukakerta membawahi Pagerbumidan Cijulang
2. Cutak Mandala
membawahi Kalapagenep
3. Cutak Cipinaha
membawahi Unggasan
4. Cutak Cigugur
membawahi Parakantelu dan Maroko
5. Cutak Parung
6. Cutak Karang
7. Cutak
Bojongeurun
8. Cutak Suci
9. Cutak Panemboh
10. Cutak Cisalak
11. Cutak Nagara
(Pameungpuk Garut)
12. Cutak Cidamar
Kemudian Sultan Agung mengambil kembali dari tiga distrik
dari umbul-umbul yang ikut memberontak bersama Dipati Ukur, yaitu Saunggantang,
Taraju, dan Malangbong. Dengan demikian jumlah Sukapura menjadi 15 cutak. Tanah
yang di kuasai Tumenggung Wiradadaha adalah daerah terbesar (terluas) dan
terpadat penduduknya di daerah Priangan.
Mengingat sangat luasnya daerah yang di berikan Sultan Agung
kepada Wiradadaha dapat di tarik kesimpulan bahwa Sultan agung sangat
berterimakasih atas tertangkapnya Dipati Ukur dan bagi Sultan Agung
pemberontakan Dipati Ukur ini sama membahayakannya seperti VOC. Tumenggung
Wiradadaha di bebaskan dari kewajiban membayar upeti kepada Sultan Mataram.
Kebebasan memegang perintah dan menarik penghasilan.
Pada masa Wiradadaha III, kemajuan agama sangat di
pentingkan sekali, karena adanya anjuran dari Syeh Abdul Muhyi di Pamijahan,
yang menjadi perintis agama islam di Sukapura. Pada saat Wiradadaha III
meninggal maka Subamanggala di angkat menjadi bupati Sukapura dengan gelar Wiradadaha
IV. Ia di kenal dengan bupati yang sangat pinandita, karena sejak kecil di asuh
oleh Syeh Abdul Muhyi di Pamijahan.
Biografi Syekh Abdul Muhyi
Syekh Haji Abdul Muhyi lahir di daerah Gresik, 1071 H 1650
M, wafat di Pamijahan, Bantar Kalong, Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1115
H/1730 M. Ulama tarekat Syatariyah, penyebar agama islam di Jawa Barat bagian
Selatan. Karena di pandang sebagai seorang wali, maka makamnya di Pamijahan di
keramatkan orang.
Syekh Abdul Muhyi sebenarnya masih keturunan bangsawan.
Ayahnya bernama Sembah Lebe Kusumah, yang merupakan keturunan ratu Galuh, dan
ibunya Sembah Ajeng Tangan Ziyah, beliau juga mempunyai saudari yang bernama
Nyai Kodrat yang kemudian akan menjadi istri Khotib Muwahid.
Silsilah keturunan Syeh Abdul Muhyi dari Ayah dan Ibu:
Dari Ayah
1. Ratu
Galuh
5. Entol panengah
2. Ratu
Puhun
6. Sembah Lebe Wartakusumah
3. Kuda
Lanjar
7. Syeh Haji Abdul Muhyi
4. Mudik Cikawung
Ading
Dari Ibu
1. Nabi Muhammas
SAW 14. Sultan Abdul
fatah Raja India
2. Sayyidina Siti
Fatimah 15. Sultan
Abdul Khan Duddin
3. Sayyidina
Husain 16. Syeh Amir Ahmad Jalaludin
4. Sayyidina
Zainal Abidin 17. Syeh
jamaludin al-husen
5. Sayyidina Syeh
Ja’far Sidik 18. Syeh maulana
Ibrahim Zainal Akbar
6. Sayyidina Syeh
Kasim Al-kamil 19. Syeh ali maulana
ali murtadu
7. Sayyidina Syeh
Isa Al-Basri 20. Syeh Maulana
Ishak
8. Sayyidina Syeh
Abdul Abu Naji 21. Syeh Sunan ciri
Raden Paku
9. Sayyidina syeh
Ubaidilah 22. Syeh
Pangeran Laya Atam Sunan Giri
10. Sayyidina Syeh
Muhammad 23. Syeh Adi Pati
Wiracandra
11. Sayyidina Syeh
Almy 24. Kentol
Sambinara
12. Sayyidina Syekh
Ali Al-Gam 25. Ny. Rd.Ajeng
Tanganijah
13. Sayyidina Syeh
Muhammad 26. Syeh Hj Abdul
Muhyi
Pada saat usia 19 tahun Syekh Abdul Muhyi merantau ke pulau
Sumatra dengan belajar agama islam di Kuala Aceh. pada saat di Aceh Syekh Abdul
Muhyi berguru kepada seorang ulama besar ahli tasauf, dan pemimpin tarekat
Syatariyah, yang menjadi imam mesjid raya Aceh bernama Syekh Abdur Rauf bin
Abdul Jabar bin Abdul Qadir Baghdad, yang lebih di kenal sebagai Abdur Rauf
Singkel. Abdur Rauf singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran
martabat alam tujuh, yang di kenal dengan paham Wahdatul wujud dengan paham
sunnah, ajaran itulah yang kemudian di bawa Syekh Abdul Muhyi ke Jawa. Setelah
menamatkan pendidikan di Aceh saat berusia 27 tahun beliau pergi ziarah ke
makam Syekh Abdul Qodir Jaelani di Baghdad bersama guru dan rombongannya, dan
melaksanakan ibadah haji ke Makkah.
Pada saat sedang berada di Makkah Syekh Abdur Rauf
mendapatkan petunjuk bahwa salah satu santrinya akan ada yang menjadi wali.
Dikala ilham itu sudah terlihat maka Syekh Abdur Rauf harus segera menyuruhnya
pulang dan harus mencari goa yang ada di pulau Jawa bagian Barat untuk menetap
dan bermukim di sana. Goa itu sebenarnya bekas Syekh H. Abdul Qadir Jaelani
sewaktu menerima ijajah ilmu agama islam dari gurunyya yaitu imam Sanusi.
Peranan Syekh Abdul Muhyi dalam penyebaran islam di Sukapura
Setelah pulang dari Makkah Syekh Abdul Muhyi di panggil oleh
Syeh Adur Rauf Singkel dan di perintahkan untuk mencari goa sesuai dengan ilham
yang beliau terima pada saat di Makkah. kembalilah Syeh Abdul Muhyi ke Ampel,
setelah menikah ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan kearah
barat bersama istri dan orangtuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk
daerah Kuningan, Jawa Barat. Ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685).
Kemudian kembali mengembara dan sampai di daerah Pameungpeuk Garut, ia menetap
di Pameungpeuk selama satu tahun (1685-1686), untuk menyebarkan agama islam di
kalangan masyarakat yang pada saat itu masih menganut agama Hindu.
Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan di makamkan di
kampung Dukuh di tepi kali Cikangan. Setelah ayahnya meninggal ia melanjutkan
pengembaraan kedaerah Batu wangi, setelah itu ke Lebaksiuh, ia bermukim di
Lebaksiuh selama empat tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa
mengislamkan penduduk yang sebelumnya beragama Hindu. Pada saat di Lebaksiuh
Syeh Abdul Muhyi mendapat gangguan dari pengannut agama lain, untuk mencari
ketenangan dalam ibadah maka Syeh melakukan pengembaraan kembali dan pada saat
itu ia menemukan Goa yang sesuai dengan petunjuk gurunya, lembah itu diberi
nama Mujarad yang artinya tempat penenangan, dan tiidak jauh dari sana, di
sebelah Timur dibangun sebuah kampung yang di berinama Safarwadi yang artinya
berjalan di atas jurang. Kampung itu sekarang di sebut Pamijahan.
Syekh Abdul Muhyi sendiri merupakan pengamal dari Tarekat
Syatariyah, yang diperoleh dari gurunya Syekh Abdul Rauf as-Syinkel, seorang
mursyid tarekat Syatariyah. Keterangan ini dibuktikan dengan sislsilah
kemursyidan guru-guru Syekh Abdul Muhyi yang diambil dari dokumen resmi
kepamijahan. Garis keturunan guru-guru Syekh Abdul Muhyi antara lain:
1. Nabi Muhammad ﷺ
14. Syekh Muhammad Asik
2. Ali bin Abi
Thalib
15. Syekh A’rif
3. Syekh Husen
16. Syekh Abdullah Sathori
4. Syekh Jaenal
Abidin
17. Syekh Qodli Sathori
5. Syekh Imam
Muhammad Bakir
18. Syekh Hidayatullah Sarmat
6. Syekh Jafarus
Sidiq
19. Syekh Husuri
7. Syekh abi
yazid Bustomi
20. Syekh Muhammad Gaos dan putra Khotimudin
8. Sykeh Muhammad
Maghribi
21. Syekh Wajihudin al-Alawi
9. Syekh Arobi
Yazidi
22. Syekh Sibghatul Sah
10. Syekh Qutub
Mudlofar
23. Syekh Muwahib Abdullah Ahmad
11. Syekh Rumli
Turitusi
24. Syekh Ahmad bin Muhammad Madinah
12. Syekh Hasani
Harqoni
25. Syekh Abdul Rauf as-Syinkel
13. Syekh Maulana Nanari
26. Syekh Haji Abdul Muhyi[15]
Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai wali yang berperan
mendakwahkan Islam di daerah Sukapura (Tasikmalaya). Bahkan salah satu penguasa
Sukapura yang bernama Subamanggala
merupakan murid sekaligus anak angkat dari Syekh Abdul Muhyi.
Namun berselang tujuh tahun selepas pengangkatan
Subamanggala menjadi Bupati Sukapura, Syekh Abdul Muhyi wafat tepatnya pada
tahun 1730 M dan dimakan di Pamijahan. Peran Syekh Abdul Muhyi tidak berhenti
setelah wafatnya.
Metode islamisasi Syeh Abdul Muhyi
Penyebaran agama islam dilakukan oleh Syeh Abdul Muhyi
dengan cara damai dan menggunakan pendekatan kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Syeh Abdul Muhyi sanga obati orang sakit dan tempat bertanya atau pemberi
nasihat, bagi orang-orang yang sedang mengalami kesulitan. Oleh karena itu
tidak sedikit masyarakat yang menaruh simpati dan akhirnya menyatakan untuk
memeluk agama islam.
Dalam memberikan pengajaran agama islam, Syeh Abdul Muhyi
melakukannya dengan pendekatan kebudayaan, seperti lagu-lagu yang menggunakan
kata-kata dari Al-Qur’an. Selain itu, masyarakatpun di beri doa-doa berupa
kalimat syahadat dan ayat-ayat Al-Qur’an. Doa-doa itu di maksudkan sebagai
pengganti jampe-jampe yang masih di percaya kekuatannya oleh masyarakat.
Selain menggunakan cara di atas, juga dengan menggunakan
metode tarekat. Metode ini hakekatnya di gunakan untuk mendidik santri agar
tetap mentaati dan menjalankan ibadah sesuai dengan Syareat yang di contohkan
Nabi Muhammad SAW, dan di kerjakan oleh sahabat dan juga tabi’in secara turun
temurun.
Syeh Abdul Muhyi mengajar santri-santrinya di dalam gua
Safar Wali, terutapa pelajaran yang menyangkut masalah yang menyangkut prinsipil.
Penggunaan goa ini dimaksudkan agar para santri lebih serius, konsentrasi, dan
mudah dalam menyerap palajaran, dengan tidak terganggu oleh situasi alam yang
ada di luar.
Syekh Abdul Muhyi merupakan seorang seniman, sehingga
pengembangan ilmu agama islam di lakukan melalui seni diantaranya dengan cara :
ü Mengajar membaca
Al-qur’an dengan senni bacaan
ü Mengajar doa-doa
lain dengan istilah mantra atau jampi
Cara yang di lakukan, di waktu senggang, Syeh biasa membaca
Al-qur’an dengan seni bacanya. Karena seni bacaannya yang indah maka penduduk
di sekitar tertarik, sehingga banyak yang berdatangan ingin belajar membaca
Al-qur’an.
Untuk memenuhi permintaan para pendatang Syekh tidak
langsung memberi pelajaran membaca Al-qur’an, melainkan :
1. Hanya belajar
lagunya dengan cara senandung
2. Diberi cara
atau syarat mengenai : memegang, membawa, dan membaca Al-qur’an.
Cara atau syarat yang di maksud itu ialah mengenai pembacaan
2 kalimat syahadat kemudian cara-cara berwudu dan lain sebagainya, dengan
maksud untuk membawa mereka masuk agama islam.
Metode dakwah bilhal yang paling khas dari Syekh Abdul Muhyi
ialah mengembangkan konsep ”martabat tujuh”, melalui martabat alam tujuh inilah
tatacara berdzikir, jalan spiritual dan konspe akhlak dikembangkan. Terdapat
tiga sitilah yang disandarkan kepada dzikir, yaitu: dzikir ruhani (ta’ayun),
dzikir amali (qashd), dzikir jasmani (ta’arudh) yang masing-masing berjumlah
tujuh, yaitu: 1. Hati lawwamah, 2. Hati sawiyyah, 3. Hati salbiyyah, 4. Hati
muthma’innah, 5. Hati tawajjuh, 6. Hati mujarrad, 7. Hati rabbani. Sedangkan
yang dimaksud martabat alam tujuh adalah proses penampakan Allah pada alam,
yaitu: 1. alam ahadiyah, belum nyata, yaitu dzat qadim, azali, abadi masih
berdiri sendiri; 2. alam al-wahdah, mulai ada yang nyata pada martabat sifat
qadim, azali, abadi; 3 alam al-wahidayyah, telah kuasa atas terjadinya
masing-masing yang ada (mumkinat), yang mengadanya pun telah diketahui oleh
ilmu Allah; 4. alam al-arwah, martabat nyawa sebelum menerima nasib yang masih
merupakan cahaya suci; 5. alam al-mitsal, nyawa rahmani telah menerima bentuk;
6. alam al-ajsam, adalah ketika mengadanya jasad halus yang diistilahkan
ruhiyyah; 7. alam al-insal al-kamil, yaitu Allah meniupkan nyawa yang
diistilahkan roh idlafi ke dalam jasmani Adam.
Peninggalan Syekh Abdul Muhyi di Sukapura
1. Goa Saparwadi
Kekunaan kompleks keramat Pamijahan hanya tampak pada Gua
Saparwadi. Gua ini terbentuk secara alamiah sebagai hasil proses geologi
biasa. Gua tersebut memiliki dua pintu,
tetapi secara tradisional, jalur yang dianggap pintu masuk terletak di sebelah
tenggara (Kampung Pamijahan) dan pintu keluar di sebelah barat laut (Kampung
Panyalahan). Diukur dari kedua pintu itu, panjang gua mencapai sekitar 284 m
dan bagian terlebar mencapai 24,50 m. Menurut perhitungan juru pelihara, ruang
dalam gua tersebut mempunyai
keluasan 6.950 m2, yang tertutup bukit
terjal seluas 26.568 m2. Dari ujung ke ujung terdapat jalan masuk yang sempit.
Bagian dalam gua memiliki ruangan cukup luas dan dapat menampung puluhan orang.
Pada sepanjang jalan gua ini, tampak langit-langit gua dipenuhi stalaktit dan
stalagmit. Sesungguhnya jalan gua ini merupakan sumber air yang seterusnya
dialirkan ke bagian luar untuk masuk ke sungai Pamijahan. Jalan utama dalam gua
ini sebuah jalur lurus dengan orientasi barat – timur. Di sebelah utara
terdapat lorong-lorong yang secara tradisional dianggap ‘jalan mistik’ dengan
berbagai tujuan.
Tidak jauh dari
pintu masuk, terdapat sebuah lorong yang dinamai pangtapaan (tempat bertapa).
Tempat ini menjadi lokasi pertama dalam proses ziarah ke dalam gua. Setelah
keluar dari pangtapaan, orang dapat mengunjungi ceruk kecil mengandung sumber
air bawah tanah yang ditandai sebagai ‘zamzam’. Di sini pengunjung dapat
mengambil air suci dalam botol-botol plastik yang nantinya sebagai bekal.
Perjalanan dilanjutkan ke arah utara sampai di sebuah lorong dangkal yang
disbut cikahuripan (air kehidupan).
Tidak jauh dari situ terdapat lorong besar ke arah barat.
Lorong ini mula-mula memiliki dua cabang ke kiri dan kanan. Pada cabang sebelah
kiri (utara) terdapat dua lorong, disebut ‘menara’ dan ‘jalan ke Mekah’. Keluar
dari lorong ini, perjalanan dilanjutkan ke lorong utama pada arah utara, yang
pada ujungnya terdapat ceruk dinamai ‘masjid isteri’. Pada lorong inilah
terbentang dua cabang besar membentuk sayap timur dan barat, yaitu ‘jalan ke
Surabaya’ dan ‘jalan ke Cirebon’.
Pada sayap barat ditemukan banyak lorong. Deretan lorong
utara, biasa disebut pasantrian ada ceruk-ceruk yang penamaannya mengidentikkan
diri dengan instrumen kegiatan pesantren. Lorong pertama disebut jabal kopeah,
kemudian berturut-turut ke arah barat terdiri dari ‘tempat kitab’,
‘pandaringan’, ‘haseupan’, dulang, dan cowet. Sedangkan lorong paling barat
adalah ‘jalan ke Banten’. Kembali ke jalur utama gua, perjalanan dilanjutkan ke
arah barat. Sebelah utara terdapat ceruk yang disebut ‘cikajayaan’ dan kemudian
ceruk lainnya disebut ‘tihang masjid Madinah’, sebelum berakhir di pintu ke
luar di Kampung Panyalahan.